Setiap tanggal 8 Maret diperingati Hari Perempuan Dunia. Permasalahan tentang keperempuanan tak ada habisnya sampai sekarang. Sebagai bukti, mari kita lihat budaya patriarki masih bertahta hingga kini. Contoh sederhananya, menurut asumsi pribadi penulis, banyak orang tua merasa lebih bangga jika memiliki anak laki-laki dibandingkan perempuan.
Najwa Shihab, salah satu jurnalis senior memberikan pandangannya terhadap masalah yang dihadapi perempuan masa kini. Diantaranya adalah kesenjangan gaji berdasarkan jenis kelamin, kekerasan seksual, dan rendahnya tingkat percaya diri perempuan. Hal ini secara tidak langsung menggugah saya untuk turut menjabarkan problema yang kian hari semakin menjadi.
Kesenjangan Gaji Berdasarkan Jenis Kelamin
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika upah tenaga kerja wanita lebih rendah dibandingkan laki-laki, untuk jenis pekerjaan yang sama. Menurut data yang dipaparkan Najwa, perempuan memiliki gaji relatif lebih tinggi jika ia bekerja disektor industri tekstil dan fashion. Hal ini sedikit miris dibandingkan dengan fakta yang ada. Mayoritas industri di Indonesia, mulai dari sektor pertanian, perkebunan bahkan pabrik-pabrik besar menggunakan tenaga kerja perempuan sebagai dominan. Penggunaan tenaga kerja perempuan ditengarai karena jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, kinerja perempuan dinilai lebih teliti dan juga lebih rapi. Namun benarkah demikian? Rasanya, penekanan biaya operasional lebih masuk akal.
Kekerasan Seksual
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pemerkosaan, dan pelecehan seksual di ruang publik bukan lagi hal baru yang kita dengar sehari-hari. Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi menjadi bukti tidak tercapainya hak perempuan untuk hidup dengan rasa aman. Data yang diperoleh Amnesty Indonesia, menyebut bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia menjadi korban kekerasan. Setiap hari, terdapat 157 perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh keluarganya. Dalam kasus lain, disebutkan juga bahwa 1 dari 5 anak usia 20-24 tahun sudah menikah sebelum usia mereka genap 18 tahun dan 15 juta anak diantaranya merupakan korban pemerkosaan.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Indonesia juga menyebut jika dalam 12 tahun terakhir hingga 2020 kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat hingga 79,2%. Lebih mencemaskan lagi, kekerasan seksual selama pandemi tahun 2020 meningkat menjadi 63% dibanding tahun 2019. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, kasus perkawinan anak juga meningkat hampir tiga kali lipat dari 23.126 kasus pada tahun 2019 menjadi 64.211 kasus.
Sedikit menyinggung tentang kekerasan berbasis gender-anggapan bahwa perempuan harus lemah lembut dan laki-laki tidak pantas menangis, merupakan stigma bentukan lingkungan yang keliru. Masyarakat kadang lupa jika anak dibentuk oleh keluarga dan lingkungannya, lantas mengapa ia dihakimi ketika laki-laki lebih sensitif atau sebaliknya? Patriarki memaksa laki-laki menjadi superior dan dominan disegala hal utamanya masalah ekonomi. Tanpa disadari, hal ini menjadi faktor utama penyebab laki-laki depresi dan bunuh diri-dalam kasus yang lebih serius. Mengapa sulit sekali memiliki kedudukan yang sama tinggi?
Rendahnya Tingkat Kepercayaan Diri Perempuan
Banyak sekali faktor penyebab rendahnya tingkat percaya diri pada perempuan, dan semuanya adalah bentukan oleh lingkungan. Stigma yang mendoktrinasi bahwa perempuan cantik diukur oleh tampilan fisik dengan kulitnya yang putih bersih dan tubuhnya yang langsing adalah produk paling fenomenal dimasyarakat pada umumnya. Kurangnya edukasi yang tepat menjadikan budaya patriarki mengakar kuat, mengerdilkan peran perempuan dengan tanpa disadari.
Dalam kehidupan, seringkali perempuan ditunjuk menjadi pembicara atau tanggung jawab lainnya yang lebih relevan. Namun tak jarang mereka menolak dengan dalih tak sanggup melakukan. Pada kasus yang lebih serius, banyak perempuan tidak berani melakukan negosiasi gaji ketika mereka diwawancarai dalam rekrutmen kerja. Kasus semacam ini nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara adidaya sekelas Amerika.
Rendahnya tingkat kepercayaan pada diri sendiri menyebabkan mereka tak memiliki daya untuk membela kepentingannya. Hal ini juga menjadi salah satu faktor mengapa korban kekerasan seksual cenderung tak melakukan pelaporan atas kasus yang menimpanya. Banyak perempuan-perempuan yang telah membuktikan bahwa mereka mampu berdaya saing, sebut saja misalnya Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan di era pemerintahan Jokowi periode pertama, juga Puan Maharani yang kini menduduki kursi tertinggi DPR RI. Namun, dibandingkan dengan ikon diatas, lebih banyak lagi perempuan yang harus dibina dan diberdayakan agar mampu membela dirinya sendiri. Masih banyak lagi perempuan yang butuh didorong agar mampu mencapai rasa percaya diri yang tinggi sehingga merasa dirinya mampu menunjukkan potensi yang dimiliki.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Hidup saling menghargai satu sama lain lebih indah daripada harus menindas kaum yang dianggap lemah. Kemudian, poin krusial dalam penyelesaian masalah keperempuanan adalah pemerintah lebih membuka mata dan segera mengesahkan peraturan yang jelas untuk melindungi hak korban kekerasan seksual dan juga perempuan. Tanpa adanya payung yang jelas, pihak yang merasa dominan akan terus semena-mena dan bertingkah dengan leluasa untuk menyakiti, menindas bahkan melakukan tindak penganiayaan. Terakhir, jangan lupa beri dukungan terhadap sesama perempuan yang ingin mengembangkan potensi dirinya menjadi lebih baik lagi, juga dukungan kepada korban kekerasan seksual agar mampu kembali melanjutkan hidupnya. Jangan malah menghakimi korban tanpa tahu seberapa pedih ia menjalani dan berusaha bangkit dari keterpurukan. Empati terhadap sesama manusia adalah kunci menciptakan lingkungan yang ramah gender.
What (Feminism) means to me, is that you don’t let your gender define who you are-you can be who you want to be, wheter you’re a man, a woman, a boy, a girl, whatever.
(Apa arti feminisme bagi saya, adalah bahwa Anda tidak membiarkan gender Anda menentukan siapa Anda – Anda bisa menjadi diri Anda sendiri, apapun, Anda seorang pria, seorang anak laki-laki, terserah.)
-Joseph Gordon-Levitt
Sumber Gambar : Pinterest
Penulis : Sindy Rosa Darmaningrum