Aristoteles benar, bahwa dalam Iustitia Communicati, adil adalah memberikan kepada masing-masing orang terhadap apa yang menjadi bagiannya dengan berdasarkan suatu hak seseorang pada suatu objek tertentu. Sederhananya begini, ada orang tua mempunyai 2 anak. Anak pertama sedang menempuh pendidikan di Universitas, sedangkan anak yang kedua sedang menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD). Permasalahan uang saku, berapa kira-kira besaran uang yang harus diberikan kepada anak-anaknya agar ia bisa dikatakan adil? Besarannya sama, atau beda?. Tentu orang tua yang baik akan memberikan lebih banyak kepada anak pertama yang sedang menempuh pendidikan di Universitas. Umpamanya dikasih uang 50 ribu, anak kedua harus dikasih lebih sedikit, sebut saja 10 ribu. Begitulah kira-kira analogi sederhana ihwal adil yang saat ini tidak dapat dipungkiri terminologinya masih multitafsir.

Baik, penulis rasa terminologi sikap adil juga berlaku dalam dunia kebijakan kampus. Entah itu penerapan adil dalam konteks akademik maupun dalam konteks kemahasiswaan. Semua pemangku kebijakan harus menempatkan kebijakan pada proporsi kebutuhan dalam penunjang kebaikan. Prinsip adil tetap satu: tidak harus sama.

Berawal dari surat edaran/instruksi oleh wakil Rektor 1 kepada wakil Dekan 1 semua fakultas di lingkungan Universitas Jember, tentang informasi pelaksanaan semester antara tahun akademik 2019/2020, penulis cukup kaget dengan besaran bayaran SPP semester antara yang tercantum pada surat instruksi tersebut. Kurang lebih kalimatnya begini, “Adapun besaran SPP semester antara gasal sebesar Rp100.000,-/SKS dengan beban studi maksimal 9 sks.”

Mari kita lihat fakta di lapangan. Untuk Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) sendiri, begitu banyak mata kuliah yang beban sksnya sangat tinggi. Bayangkan, seperti mata kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Pertanian (DDTHP), mempunyai beban 9 sks. Berarti biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa untuk menempuh semester antara matkul DDTHP adalah Rp900.000,- jumlah yang sangat fantastis. Itu hanya untuk satu orang. Bagaimana kalau yang menempuh semester antara matkul tersebut melebihi separuh mahasiswa dalam satu angkatan?

Perlu direfleksikan, potensi tidak lulusnya mahasiswa dalam sebuah mata kuliah di FTP itu sangat banyak. Ambang batas nilai yang dikatakan aman adalah nilai B (3.00), hal ini berbeda dengan fakultas lain di Universitas Jember (UJ) yang ambang batas nilai aman adalah C. Kemudian, untuk jurasan Teknologi Hasil Pertanian (THP) dan Teknologi Industri Pertanian (TIP) ada ‘keistimewaan’. Kelulusan mata kuliah itu bukan dilihat dari nilai yang ada di sister, melainkan tergantung nilai dari personal dosen (red: per cp). Sehingga fenomena seperti ini, sangat memungkinkan banyaknya mahasiswa yang tidak lulus mata kuliah tersebut meskipun secara de jure sudah lulus versi Sistem Informasi Terpadu (Sister) UJ.

Kembali pada bahasan mahalnya bayaran yang harus dikeluarkan mahasiswa untuk mengikuti semester antara, bagaimana jika yang ikut semester antara tersebut 20 orang? Penulis rasa angka itu kecil, anggap saja 50 orang. Tinggal kalkulasikan besaran spp yang dikeluarkan mahasiswa. Mohon maaf, penulis sama sekali tidak ada rasa prasangka buruk terhadap pemangku kebijakan di FTP. Cuma izinkan penulis membuka realita yang dirasa mahasiswa FTP tidak berpikir jauh akan hal ini.

KELUHAN MAHASISWA
Tidak hanya penulis yang tidak setuju jika besaran spp yang sangat mahal ini diterapkan. Terbukti dari hasil survei dengan metode kuesioner yang telah dilakukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manifest FTP pada Jumat (29/11). Dari total 290 responden yang ada, sebanyak 288 responden (99.3%) tidak setuju jika bayaran yang harus dikeluarkan sebesar Rp100.000,-/sks.

Melihat data dari kuesioner tersebut, respon ketidaksetujuan mahasiswa terhadap mahalnya pembayarannya ada 2 tangapan yang penulis anggap merepresentasikan keluhan dari responden lainnya. Yaitu, pertama dari sistem akademik FTP yang berbeda dengan fakultas lain, seperti ambang batas nilai kelulusan pada mata kuliah. Fakultas lain menerapkan nilai ambang batas kelulusan yaitu nilai C sedangkan di FTP harus B. Kemudian, keluhan yang kedua perihal adanya sistem nilai dari tiap personal dosen. Meskipun rata-rata nilai dari tiap dosen dalam satu mata kuliah (nilai akhir) yang didapatkan sudah mendapat mencapai target nilai aman di sister, namun masih tetap ada kewajiban untuk mengulang hanya karena terdapat nilai yang tidak memenuhi standar di salah satu dosen pengampu mata kuliah tersebut.

Berangkat dari keluhan mahasiswa tersebut, sudah selayaknya pihak dekanat memberikan kebijakan yang adil. Artinya, surat instruksi dari wakil Rektor 1 itu harus ditanggapi dengan mempertimbangkan relevansi sistem akademik FTP yang saat ini cukup ‘istimewa’ dibandingkan dengan fakultas lain. Andai kata dekanat menaati aturan dari rektorat dengan biaya spp sesuai surat instruksi, maka agar adil seharusnya sistem akademik yang menyulitkan mahasiswa saat ini harus disamakan dengan fakultas lain.

ADVOKASI BEM
Salah satu tupoksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yaitu sebagai lembaga advokasi yang dengan ini mengupayakan rasionalisasi terhadap mahalnya biaya semester antara yang tertera dalam surat intruksi rektorat. Melalui M. Syahril Imron, Kepala Biro Kajian Isu dan Strategi, pada Kamis (28/11) ia menyampaikan aspirasi mahasiswa kepada wakil dekan I atas kegelisahan yang dialami mahasiswa FTP ini. Menurutnya, pihak dekanat akan memberikan treatment atas mahalnya spp semester antara ini berupa surat keputusan ataupun edaran yang dikeluarkan oleh pihak dekanat.

Apa yang dilakukan BEM ini sebagai wujud penyampaian advokasi dari mahasiswa yang merasakan kegelisahan. Semoga saja ada follow up yang jelas sebelum SK ataupun edaran dari dekan turun. Perihal isu ini patut untuk dikawal agar tidak ada pihak yang dirugikan.