Sejarah
Konflik agraria yang melibatkan masyarakat desa ketajek dan PDP Kabupaten Jember telah berlangsung sejak era orde baru sampai sekarang. Hal tersebut diawali dengan kepemilikan hak erfpacht Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) atas nama George Birnie yang mengajak masyarakat di kedua desa: Pakis dan Suci guna membuka lahan perkebunan baru. Untuk wilayah perkebunan Ketajek I (verponding No. 2712) dengan luas tanah 125,73 hektar dan perkebunan Ketajek II (verponding No. 2713) dengan keluasan tanah 352,14 hektar.
Pasca Kemerdekaan
Pada tahun 1957 melalui Persatuan Petani Indonesia (Petani) cabang Jember, ketua Cabang Jembernya, M Yasir mengupayakan lobi-lobi politik yang dilakukan oleh guna status hukum dari kepemilikan lahan perkebunan bekas hak erfpacht seluas 478 hektar. Kemudian, Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. 50/KA/64 tentang daftar kebun yang terlantar di Daerah Jawa Timur. Kemudian Surat keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur No. 1/Agr/6/XI/122/III tentang status tanah bekas LMOD tersebut. Pada tahun 1969, proses penyerahan Petok D dari Pemerintah kepada 176 kepala keluarga. Sementara untuk Dusun Ketajek yang terletak di Desa Pakis sebanyak 134 kepala keluarga.
Rezim Orde Baru
Pada periode pasca 1965, negara rezim politik Orde Baru memaksakan sistem tunggal pada tata kelola masyarakat atas sumber agraria untuk peningkatan devisa negara. Harus ada organisasi yang rigid, efektif dan efisien dalam mengatur kelembagaan ekonomi dalam rangka menambah devisa negara. Pada tahun 1972, secara sepihak Pemerintah Kabupaten Jember menggunakan PDP Jember guna mengajukan permohonan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) kepada Departemen Dalam Negeri di atas kebun Ketajek seluas 477,78 Hektar. Pihak PDP Jember kemudian melakukan intimidasi terhadap Suwardi, salah seorang Kerawat Desa. Akhirnya pihak PDP Jember melalui Kerawat Desa ini mengundang warga yang telah memiliki status hak atas tanah di Dusun Ketajek untuk membicarakan beberapa hal.
- Tanah yang telah dimiliki oleh warga tersebut diambil alih oleh pihak PDP Jember. Adapun alasannya adalah ketidak jelasan status hukum.
- Warga diharuskan untuk menerima ganti rugi atas tanaman kopi.
- Warga harus menjadi karyawan PDP Jember dan harus tunduk pada peraturan yang dikeluarkan perusahaan.
Kemudian guna menindak lanjuti keputusan sepihak di atas, Bupati mengeluarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember tanggal 10 Oktober 1973, No. 84 tentang pembentukan Panitia Pengalihan Hak Atas Tanah kebun Ketajek I dan II. Dengan bantuan dari aparat kepolisian, pihak PDP Jember memaksa warga Ketajek untuk menerima ganti rugi tanaman kopi saja. Sekitar 225 warga Ketajek melakukan aksi penolakan dengan menandatangani surat pernyataan yang menyatakan keberatan atas pengambilalihan dan penggunaan lahan mereka tanggal 26 Desember 1973.Berbagai surat yang sudah terkumpul dan cap jempol paksa warga dijadikan alasan pihak PDP Jember guna mendukung upaya percepatan keluarnya sertifikat HGU. Hingga akhirnya pada tanggal 29 Agustus 1974 berdasar atas SK Menteri Dalam Negeri No. 12/HGU/DA/1974 dan Sertifikat HGU No. 3 tahun 1973 yang menyatakan bahwa tanah Ketajek adalah HGU milik PDP Jember dan tamah Ketajek adalah tanah Negara.
Keberlanjutan Konflik Dari Tahun Ke Tahun
2012
Konflik tidak lagi bersifat terbuka seperti pada tahun 1974-1999, melainkan perselisihan terjadi antar komunitas Ketajek yang sama-sama merasa benar dengan memperjuangkan hak atas tanah masyarakat Ketajek. Dibuktikan dengan adanya kelompok masyarakat yang mengatasnamakan: PMPTK, KOMPAK, dan MKK. Berawal dari uang ganti rugi yang menjadi upaya pemerintah daerah Jember dalam menyelesaikan konflik agraria tersebut. Pada salah satu kajian skripsi disebutkan bahwa sesungguhnya uang ganti rugi tersebut sengaja dibuat untuk mengadu domba kekuatan masyarakat. Kemudian terjadi pembentukan tim verifikasi nama-nama masyarakat pemilik tanah ketajek kecamatan panti. Pada salinan surat keputusan bupati no. 188.45/45/218/012/2012 tentang Penetapan Hasil Sementara Pelaksanaan Kegiatan Verifikasi Nama-Nama Masyarakat Pemilik Tanah Ketajek Kecamatan Panti menyebutkan bahwa berdasar keputusan Kepala Inspeksi agraria Jawa Timur 1/agr/XI/122/HM/1964 sementara sudah ada 605 nama yang didapat dan telah diverifikasi sebanyak 196 nama yang belum dapat diverifikasi karena nama ahli warisnya tidak ditemukan.
Hal ini yang menjadi pemicu konflik antar kelompok masyarakat dimana mereka saling bertentangan baik dalam kekuatan data, versi sejarah serta ahli waris pemilik tanah ketajek. Kelompok PMPTK yang diketuai oleh Suparjo mengusulkan 60 nama tambahan sebagai ahli waris. Kemudian Bupati mengeluarkan surat No. 590/731/1.11.2012. yang berisi permohonan untuk menerbitkan akta pelegalan hasil verifikasi dengan tambahan nama atas usulan PMPTK. Sementara itu, pihak KOMPAK dibantu SD INPERS menganggap data PMPTK adalah palsu dan menerbitkan data tandingan berupa 96 nama pemilik ahli waris.
Konflik menjadi menarik ketika menilik fakta berupa background dari ketiga kelompok masyarakat ini. Dalam data milik skripsi Wahyu, PMPTK yang mengakomodir 665 warga dengan jumlah jauh lebih banyak dibanding kedua kelompok ditunggangi 30% kepentingan pemodal. Perlu diketahui bahwa ketua PMPTK, yaitu Suparjo merupakan tokoh dengan lingkaran sosial yang paling kuat dibanding kedua ketua lain. Dapat dilihat dari garis politiknya, dimana Suparjo memiliki jaringan yang kuat dengan pemerintah kabupaten jember dan LSM berkepentingan, dimana pemkab jember tentu saja juga memiliki kepentingan dalam bergulirnya konflik.
2013
Koperasi Tani Ketajek Makmur yang dibentuk pada 2013 di masa pemerintahan Bupati Jember MZA Djalal bertujuan untuk menjadi jembatan komunikasi antara warga yang menjadi ahli waris lahan Ketajek dengan pihak PDP Jember dalam menyelesaikan konflik.
Kepengurusan koperasi yang dibentuk pada tahun 2013 lalu diharapkan oleh Pemerintah Daerah sebagai wadah bagi para ahli waris memperoleh haknya dalam pengelolaan dan pelepasan tanah Ketajek, namun fakta sebenarnya para ahli waris justru tidak masuk sebagai keanggotaan koperasi. Ironisnya, dari keterangan ratusan ahli waris tanah ketajek, keanggotaan koperasi lebih banyak dari orang luar yang secara data riwayat tidak masuk sebagai ahli waris dari tanah ketajek.
2018
Dilansir dari tribunnews, Tahun 2018 Kejaksaan Negeri (Kejari) Jember menahan Bendahara Koperasi Ketajek Makmur, Sutomo, Kamis (6/9/2018) sore. Selain itu, sebulan yang lalu Suparjo selaku Ketua Koperasi Ketajek telah ditetapkan sebagai tersangka Berdasarkan penyidikan, dugaan tindakan korupsi yang dilakukan Suparjo juga melibatkan orang lain yakni pengurus Koperasi Tani Ketajek Makmur, dalam hal ini Bendahara Koperasi yakni Sutomo.
Suparjo diduga melakukan Tipikor sehingga keuangan negara dirugikan sebesar Rp 9 miliar. Pengurus koperasi yang diketuai Suparjo diduga tidak menyetor hasil sharing pengelolaan kebun Ketajek milik Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kahyangan Jember.
Hasil kebun yang tidak disetor kata jaksa merupakan hasil kebun mulai tahun 2014 hingga 2018. Hasil pengelolaan kebun itu seharusnya dibagi, untuk PDP Kahyangan sebesar 70 persen dan Koperasi Tani Ketajek Makmur sebesar 30 persen.
2019
Lutfiah Ahmad Bazed seorang ahli waris Tanah Ketajek mengatakan sengketa lahan di kampung perkebunan Ketajek yang hingga saat ini statusnya masih terkatung-katung tanpa ada kepastiaan. Upaya penyelesaian telah menyebabkan sedikitnya 803 kepala keluarga (KK) yang merupakan ahli waris di lahan tersebut tidak dapat menggarap lahannya. Lahan mereka justru digarap oleh pihak lain yang bukan merupakan ahli waris. Fakta dilapangan yang terjadi banyak lahan ahli waris telah dijual secara sepihak oleh pihak koperasi kepada orang luar. Dan ahli waris tidak mendapat keuntungan sepeserpun dari lahannya sendiri (19/8/2019).
Terkait aspirasi dari para ahli waris yang menghendaki pembubaran koperasi memang sempat menjadi pembahasan bersama dari Forkopimda dan memang sampai saat ini masih belum ada hasil yang maksimal. Mereka juga sudah memeriksa mantan Direktur PDP tahun 2014 – 2016 (Sujatmiko) sebagai saksi. Apakah ada tersangka lain, tentunya masih menunggu hasil penyelidikan dan penyidikan. Alurnya kemana saja harus menunggu hasil penyidikan
Ada indikasi kerugian negara dalam perkara itu diperkirakan lebih dari Rp 9 miliar. Sebelumnya jaksa menyebut kerugian negara sebesar Rp 9 miliar. Kerugian negara itu berdasarkan hasil kebun yang dipanen kemudian dijual oleh koperasi dan tidak disetorkan ke Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kahyangan Jember. Hasil kebun itu antara lain hasil penebangan kayu (seperti sengon), juga panen kopi dan kakao.
Jaksa melihat ada kejahatan korporasi dalam perkara tersebut. Sebab tersangka menggunakan koperasi untuk melakukan tindak pidana korupsi. Karena ada kejahatan korporasi, tidak menutup kemungkinan jaksa membedah perkara itu juga memakai UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Konflik Agraria Di Indonesia
Konflik Agraria Ketajek hanyalah satu dari sekian banyak konflik agraria yang mangkrak di negara ini. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2017, sekitar 71% luasan lahan di Indonesia dikuasai korporasi kehutanan, 16% selanjutnya dimiliki oleh korporasi perkebunan skala besar, dan 7% milik para konglomerat. Sisanya, kurang dari 6% dipegang oleh petani kecil. Lebih lanjut, pengambilalihan lahan pertanian memunculkan konflik agraria yang kerap merugikan masyarakat tani. Data KPA mencatat luas lahan konflik agraria mencapai 520,49 ribu ha pada 2017 dan 807,17 ribu ha pada 2018.
Janji Jokowi dalam hal reformasi agraria melalui redistribusi lahan seluas 9 juta ha agaknya menemukan jalan buntu. Dilansir dari CNNIndonesia, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan janji redistribusi lahan seluas 9 juta ha yang tak kunjung diterima oleh petani. “Pemerintah tetap mempertontonkan kekeliruan reforma agraria dengan membiarkan krisis agraria dialami kaum tani Indonesia dan tidak diatasi dengan serius,” ucap Dewi pada Senin (23/9).
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memandang program Reforma Agraria yang dijalankan pemerintah dalam lima tahun terakhir memang punya nilai plus dan minus. Dari sisi positif, program bagi-bagi sertifikat setidaknya memberikan kepastian kepada petani. Meskipun, memang belum sepenuhnya diimbangi dengan penanganan yang baik terhadap konflik agraria yang ada. Apalagi, sertifikasi itu sendiri bertujuan untuk meminimalisir terjadinya konflik. Namun, negatifnya, kebijakan pemerintah saat ini yang masih lebih mengutamakan lahan untuk pembangunan infrastruktur turut membuat harga makin melambung dari waktu ke waktu. Secara tidak langsung, ini membuat para pemilik modal dapat menguasai lahan, sementara rakyat kecil kesulitan.
Sumber:
https://hukrim.memontum.com/17915-ketua-koperasi-tani-ketajek-makmur-ditahan-jaksa
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190924082514-532-433247/petani-riwayatmu-dalam-reforma-agraria-ala-jokowi
Aprianto, C. T. 2009. Manakala Konflik Berkepanjangan Harus Diselesaikan: Kasus Konflik Perkebunan Ketajek, Jember. Universitas Jember: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 13, Nomor 1, Juli 2009 (71-90).
Triyono, W. 2013. Analisis Peta Konflik Agraria Dalam Konteks Sosial Ekonomi Dan Politik Masyarakat Ketajek Desa Pakis Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Skripsi. Universitas Jember, Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan.