Umum dijumpai, orang-orang awam ketika ditanyai apakah gender itu, maka jawaban mereka gender adalah jenis kelamin. Padahal arti dari gender lebih dari itu. Gender sebenarnya merujuk pada karakteristik yang membedakan antara wanita dan pria tidak hanya secara biologis, namun juga dari perilaku, mentalitas, dan sosial budaya.
Kesetaraan gender bukan melulu tentang perjuangan dalam mendapatkan persamaan derajat dan kedudukan dari pihak wanita saja. Memperjuangkan kesetaraan gender, juga berlaku pada kaum adam. Laki-laki pun tidak jarang menerima perlakuan diskriminasi hanya karena preference atau pilihannya. Kutipan-kutipan yang sering dijumpai seperti, ‘lelaki itu biru, bukan warna merah jambu’ dan ‘lelaki itu maskulin, bukan feminim’ sudah bukan menjadi rahasia umum lagi.
Selain itu, beban dan stigma pun dirasakan oleh kaum adam karena mereka dianggap superior yang harus selalu memimpin, ditimpali oleh tanggung jawab di setiap langkah, serta tanggung jawab untuk selalu menjaga perempuan. Lalu apa kaitannya dengan ‘Gender equality is a human fight’? Karena kesetaraan gender dapat menghindarkan kekerasan. Walaupun kasus yang paling banyak dialami oleh kaum hawa, namun tidak menutup kemungkinan dari pihak laki-laki pun juga ada yang mengalaminya. Apalagi kasus terburuk dari gender equality, yaitu human trafficking yang tidak memandang jenis kelamin hingga umur.
Salah satu kasus yang masih hangat dari contoh ketidaksetaraan gender dari wilayah kampus UNEJ sendiri adalah kasus pelecehan oleh oknum dosen yang berinisial RH. Mengapa pelecehan masuk ke dalam kategori pengingkaran gender equality? Sebab apa yang memicu tindakan pelecehan itu sendiri adalah karena pola pikiran si pelaku yang tidak memandang si korban ‘equal’ dengannya. Ironisnya, korban merupakan keponakannya.
Ini jelas merupakan ketimpangan dari kesetaraan gender, sebab oknum melakukan tindakan dominasi terhadap perempuan terlebih perempuan itu adalah keponakannya sendiri. Maksud dominasi di sini ialah tindakan merendahkan dengan menganggap bahwa perempuan adalah kaum lemah yang tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Ditambah dengan momok gelar tinggi dari si pelaku, maka pelaku sudah jelas menegaskan bahwa derajat ia dengan si korban tidaklah sama hingga membuat perlawanan si korban meragu.
Selain kasus violennce, sexual harassment, ada isu yang lebih kita kenal dan tidak asing terdengar telinga kita. Mereka menyebutnya isu “Missing Women”. Missing Women sendiri merujuk pada isu para calon orang tua yang lebih menginginkan kehadiran anak laki-laki daripada bayi perempuan, sehingga mereka melakukan tindakan ilegal yang mencabut hak asasi manusia atau bisa disebut mengambil hak hidup manusia yang ada di dalam kandungan itu dengan tindakan aborsi. Inilah mengapa gender equality disebut-sebut human fight sekaligus human right.
Beberapa ada yang percaya, bahwa kaum lelaki adalah yang paling menderita menerima konsekuensi dari kekerasan peran gender daripada kaum perempuan. Bagaimana bisa demikian? Contoh sederhananya, belakangan ini para orang tua tidak memiliki keraguan untuk memberikan anak perempuan mereka sebuah mainan mobil atau figur transformers dan mendorong anak gadisnya untuk bermain sports.
Namun, kita bisa cukup membayangkan bagaimana perasaan orang tua itu jika anak lelakinya meminta mainan barbie dan meminta satu set peralatan rias seperti putri kerajaan, bukan? Belakangan ini pun, para wanita yang memilih peran yang biasanya lelaki ambil, menunjukkan cukup kemajuan. Namun, apa yang terjadi jika para lelaki yang mengambil peran gender perempuan? Maka tidak akan ada kemajuan, hanyalah terjadi ‘kejatuhan’ yang tanpa sadar orang berikan membuat imbas yang besar pada mental trauma lelaki tersebut. Tidak adanya support menyebabkan demikian. Support memiliki banyak artian, salah satunya ialah respect pada pilihan orang lain.
Apakah lelaki itu memakai pakaian serba merah muda atau apakah perempuan itu menyukai seni bela diri, yang bisa kita lakukan adalah respect their choice. Selalu mengingatkan diri, bahwa semua orang pun memiliki pilihannya sendiri dan dapat melakukan apa yang mereka inginkan. Dengan aksi kecil ini, maka diskriminasi pun bisa terhindari. Bagaimanapun juga, support dan meluruskan apa yang belum jelas membutuhkan waktu serta proses yang panjang. Mindset seseorang tidak bisa diubah hanya dalam rentang waktu singkat, sebab mindset adalah hal yang tertanam dan menjadi paham seseorang.
Problematika kesetaraan gender tidak hanya membutuhkan empati, melainkan juga sebuah aksi. Aksi yang disebut pun bukan berartikan aksi yang mampu memprorak porandakan massa. Namun aksi nyata kecil yang mampu didorong diri sendiri, dan sedikit demi sedikit mampu dicontohkan pada masyarakat sekitar.
Penulis : Adilah Devira
Ilustrator : Putri Sembiring