Dihadapkan pada kolase pandemi, pendidikan, dan pahlawan, maka konsep yang dibangun mencakup elemen tersebut sederhananya yaitu: semangat sistem pendidikan berkelanjutan oleh pahlawan bangsa yang telah mendahului kita. Hari Pahlawan Nasional yang diperingati setiap 10 November, tahun ini sangat berbeda, tentu implikasi dari pandemi. Meski demikian, fenomena seperti ini seakan menjadi kilas balik untuk melihat kembali perjuangan pahlawan pendidikan dalam batasan penjajahan dulu.
Ketika akhir 2019 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menggaungkan merdeka belajar, sistem pendidikan yang dinamis mengikuti perkembangan zaman, tentu hal penting yang menjadi pekerjaan yang rumit adalah bagaimana bisa merdeka belajar ini menjadi sistem pendidikan yang diterima semua kalangan dan menjadi sistem pendidikan yang berkelanjutan. Tapi bencana pandemi saat ini menjadi awal yang harus disikapi dengan taktis oleh kemendikbud.
Tak dapat dipungkiri, pendidikan di Indonesia selalu ada sangkut pautnya dengan politik praktis. Persoalan peralihan kekuasaan saat ini, selalu berimplikasi pada perubahan sistem (baca: kurikulum) pendidikan pula. Mari kita lihat 2004-2013, telah terjadi 3 kali perubahan kurikulum pendidikan. Pada tahun 2004, menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Pada 2006 terjadi perubahan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada 2013 terjadi lagi perubahan kurikulum menjadi K-13.
Pemandangan seperti ini sangat tidak mencerminkan pendidikan kemajuan keberlanjutan. Negara maju dalam hal kurikulum pendidikan tentu memproyeksikan jangka panjang. Jepang, misalnya. Konsep pendidikan Jepang adalah kombinasi antara sentralisasi, desentralisasi, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan partisipasi masyarakat. Sehingga Jepang ketika ada sesuatu perbaikan masalah dalam sistem tersebut tidak lantas mengubah keseluruhan kurikulum. Kemudian, kita lihat Finlandia. Saat ini Finlandia menjadi episentrum kurikulum pendidikan banyak negara. Konsep yang digagas di Finlandia tidak jauh berbeda dengan Jepang. Dalam hal penjaminan mutu lulusan, Finlandia selalu menghargai perbedaan kreativitas setiap siswa. Maka dalam berjalannya pendidikan di Finlandia tidak terlalu mementingkan dan bahkan sangat meminimalisir ujian.
Role model pahlawan nasional yang sangat cocok untuk diadopsi dalam gagasan merdeka belajar yang digaungkan Nadiem Makarim mengerucut ke satu nama: Ki Hajar Dewantara. Jauh sebelum kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara adalah pejuang pendidikan Indonesia. Dilahirkan pada 02 Mei 1889, beliau adalah penggagas pendiri sekolah Taman Siswa, instansi pendidikan yang memberikan ruang bagi kaum pribumi yang tak mendapat pendidikan saat zaman penjajahan.
Merdeka belajar ini linear dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dalam buku Pusara (1940) Ki Hajar Dewantara mengatakan, “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi”. Dengan kata lain, Ki Hajar Dewantara mengedapankan sistem pendidikan karakter dan kekayaan kreativitas setiap siswa.
Mari kita bedah sistem Ki Hajar Dewantara ini untuk mendapatkan ikhtisar yang sekiranya menjadi semangat dalam merdeka belajar yang diekstraksi Nadiem Makarim.
Upaya Kolosal
Ing Ngarso Sung Tulodho (yang di depan memberi contoh), Ing Madya Mangun Karso (yang di tengah memberikan semangat), Tut Wuri Handayani (yang di belakang memberikan dorongan). Adalah motto yang sangat fenomenal, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan tidak cukup hanya sekedar penyampaian ilmu dari guru kepada siswa. Tapi idealnya adalah pendidikan harus didukung banyak elemen, yang kemudian menghasilkan mutu lulusan yang baik.
Paket komplit Ki Hajar Dewantara inilah yang tidak dapat dijumpai dalam kurikulum pendidikan saat ini. Terlebih masalah moral. Kita tahu, moral adalah paling tingginya hasil dari pendidikan. Saat ini di Indonesia banyak yang berilmu, tapi mereka dengan kejam melakukan kejahatan, korupsi besar-besaran, sekali lagi ini adalah masalah moral. Jika ini dibiarkan, bagaimana wajah pendidikan ke depan? Tentu menjadi musibah yang akan menggerogoti kedaulatan Indonesia.
Perpustakaan Swasta
Elemen penting dalam merdeka belajar yaitu ketersediaan perpustakaan. Ketersediaan perpustakaan ini linear dengan Cita-cita Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam menjalankan sistem pendidikan merdeka belajar, rasanya tidak cukup hanya mengandalkan perpustakaan sekolah, kota, kabupaten, kecamatan, atau bahkan desa dalam menyediakan bahan bacaan. Kolektif kolegial ihwal tersedianya bahan bacaan ini hendaknya pemerintah melalui setiap sekolah menjalin kerja sama dengan masyarakat yang mempunyai banyak buku.
Dimaksudkan menjalin kerja sama dengan masyarakat yang punya banyak buku di sini adalah menjamin tersedianya banyak bahan bacaan di setiap desa maupun dusun tempat siswa tinggal. Teknis yang sangat rasional dalam menjalankan jalinan kerja sama ini adalah pihak sekolah harus mencari masyarakat sekitar sekolah minimal 10 orang yang mempunyai banyak buku atau perpustakaan pribadi di rumahnya, lantas meminta izin untuk sekiranya bisa menerima siswa yang berkunjung dalam rangka baca buku.
Apalagi kalau menilik minat literasi di Indonesia sangat rendah. Seperti rilis “Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi” oleh kemendikbud tahun 2019, bahwa indeks alibaca nasional masuk dalam kategori aktivitas literasi rendah, sedangkan pada indeks provinsi sebanyak 9 provinsi masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi masuk dalam kategori rendah, dan 1 provinsi masuk dalam kategori sangat rendah. Artinya, baik secara nasional maupun provinsi tidak ada yang masuk kategori tinggi.
Akhirnya ketersediaan perpustakaan yang marak, maka konsep merdeka belajar benar-benar dinamis dan menyenangkan—lebih-lebih romantisme pandangan saat ini yang menyebutkan bahwa pendidikan terpaku terhadap sekolah, bisa dipatahkan dengan kehadiran perpustakaan swasta ini. Bukankah sangat menyenangkan ke depan justru siswa banyak yang lebih senang baca buku ketimbang melototi gawai?
Atau setidaknya, hal yang mungkin lebih realistis, penulis sangat tertarik dengan apa yang di lakukan Benny Arnas, sastrawan dan novelis dari tanah Lubuklinggau. Benny memindahkan hampir 90% buku di perpustakaan pribadinya ke perpustakaan lembaga literasi yang ia kelola: Benny Institute, dan bisa diakses masyarakat sekitar. Alasannya sederhana, Benny berpandangan bahwa tak baik punya buku banyak jika hanya untuk ‘konsumsi’ kepala pribadi.
Benny Arnas berharap kedepannya masyarakat tidak perlu membuat perpustakaan secara formal, dengan administrasi yang ribet. Cukup menyilakan siapa saja berkunjung kerumahnya untuk membaca koleksi bukunya. Semakin banyak orang yang melakukan hal demikian, kata Benny, maka permasalahan akses literasi perlahan akan teratasi.
Ekstraksi Panca Dharma Ki Hajar Dewantara
Penanaman moral seperti masalah di atas, ini sudah terhimpun semua dalam panca dharma Taman Siswa yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Role model inilah yang harus diadopsi spesifik oleh Nadiem Makarim.
Pertama, asas kodrat alam. Ki Hajar Dewantara mengajarkan pada insan pendidikan bahwa hakikat ilmu harus disandarkan dengan agama. Sangat naif misalkan pendidikan hanya sebatas teori yang nanti hanya membantah hukum alam dan agama. Kedua, asas kemerdekaan. Semua siswa dan guru harus terpenuhi haknya. Asas ini jika diekstraksi dalam merdeka belajar akan terjadi timbal balik siswa dan guru dalam sikap kekeluargaan. Ketiga, asas kebudayaan. Ki Hajar Dewantara melalui asas ketiga ini mengajarkan tentang melestarikan budaya leluhur dan membumikannya. Keempat, asas kebangsaan. Setinggi apapun cita-cita, yang paling penting adalah rasa kebangsaan yang solid meskipun dengan latar belakang yang beda. Kelima, asas kemanusiaan. Pertikaian karena perbedaan agama, ras, dan budaya bisa dipastikan karena kurangnya patriotisme. Asas kemanusiaan ini dimaksudkan untuk menumbukan sifat menghargai perbedaan dan menjunjung toleransi
Ikhtisar ini pada akhirnya yaitu bahwa sebelum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menggagas Merdeka belajar, jauh sebelum itu Ki Hajar Dewantara hadir mengenalkan sistem pendidikan (Taman Siswa) dengan konsep yang dinamis, menitikberatkan pada penanaman karakter, dan berorientasi pada kemajemukan kreativitas setiap siswa. Tugas Nadiem Makarim saat ini harus mengekstraksi dan mengadopsi sistem yang telah lama dikenalkan oleh pahlawan pendidikan Indonesia ini.
Tabik!