Seorang eks-brigadir di Jawa Tengah mungkin jadi aparat penegak hukum pertama yang dipecat gara-gara orientasi seksualnya. Oknum bekas aparat itu menuntut keadilan dengan menggugat Kepolisian Jawa Tengah atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Brigadir dengan inisial TT tersebut merasa tidak bersalah selama bertugas karena dirinya mengaku tidak pernah menerima suap maupun pelanggaran disiplin serius lainnya yang dapat membuat anggota kepolisian bisa dipecat secara tidak hormat.
Dilansir dari The Jakarta Post, Brigadir TT dipecat seusai mengaku sebagai homoseksual. Serta merta lembaga yang menaungi TT bekerja dengan cepat langsung “memvonis” TT melanggar tugas sebagai aparat penegak hukum, yaitu seorang anggota Polri yang semestinya wajib melindungi citra dan reputasi institusi. Termasuk menaati norma-norma agama, kesusilaan dan nilai kearifan lokal.
Kasus pemecatan aparat negara tidak berhenti pada Brigadir TT. Tetapi kasus tersebut seperti menjadi triger atau pemicu fenomenal. Muncul pemecatan serupa yang tentu juga secara tidak hormat, kian gencar terjadi. Sebagai dampak langsung dari pidato “Anti-LGBT di tubuh TNI-Polri” dari Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung Mayjen Burhan Dahlan. Dua hari setelah pidato, seorang tentara di Semarang dipecat dan dipenjara karena ketahuan homoseksual. Dan yang terbaru, pada tanggal 20 Oktober 2020, marak kasus hukuman “non-job” pada brigjen polisi berinisial EP dengan kasus yang sama. Akibatnya, sang brigjen tidak diberi jabatan sampai purna.
Pemantik utama Burhan mengeluarkan pidato tersebut dipicu setelah adanya protes pimpinan TNI AD. Menurut Burhan, sang pimpinan TNI AD tersebut marah besar karena majelis hakim pengadilan militer sepanjang tahun lalu membebaskan 20 tentara gay yang disidang. Burhan mengklarifikasi bahwa si pimpinan ini khawatir sebab adanya klaim bahwa sudah ada “kelompok persatuan LGBT TNI-Polri” yang dipimpin seorang sersan. Sebenarnya, tindakan pembebasan 20 tentara gay tersebut tidak cacat hukum, sebab memang tidak ada pasal yang bisa menjerat tentara atau WNI lantaran orientasi seksualnya.
Dengan sederet kasus-kasus tersebut, timbul sebuah pertanyaan. Apakah tepat jika TNI-Polri menerapkan homofobia terhadap anggota maupun calon anggota? Pengamat Militer dari Universitas Padjadjaran, Profesor Muradi menyebut wajar jika pihak TNI-Polri melakukan pemecatan terhadap pelaku LGBT di lingkungannya. Sebab, sedari awal telah ada perjanjian tertulis bahwa prajurit wajib mempunyai keinginan seksual tunggal. Dalam hal ini laki-laki menyukai perempuan, dan sebaliknya.
Beliau menerangkan bahwa semenjak awal pendaftaran tantama, bintara, sampai perwira ada cek soal seksualitas. Di soal tersebut terdapat suatu perjanjian antara si calon personel. Jadi ketika mereka terbukti menyimpang dan melanggar perjanjian awal, maka wajar jika diberi konsekuensi, entah dipecat atau sebagainya.
Ada dua faktor mengapa aparat negara berorinteasi seksual LGBT. Bisa jadi, pada awalnya calon aparat tersebut memang sudah gay atau lesbian, entah asli dari gen atau hal lain, namun tidak ditelusuri lebih mendalam oleh penyeleksi terkait ketertarikan seksual calon anggota yang bersangkutan. Yang kedua, adanya pergaulan di lingkungan TNI-Polri dan kondisi tertentu lainnya.
Terdapat kondisi tertentu yang dapat orang menjadi homoseksual. Contohnya, jika seorang laki-laki terlalu lama berkumpul dengan laki-laki dan jarang sekali melihat ataupun bertemu perempuan, dapat membuat laki-laki tersebut menjadi gay. Seperti yang kita tahu, anggota TNI-Polri dari pendidikan sampai bertugas, acap kali bertemu dengan sesama jenis dalam tempo waktu yang cukup lama.
Namun yang jadi masalah, tidak adanya dasar hukum baik dari negara, maupun hukum militer yang terang-terangan memvonis bahwa perilaku LGBT itu salah. Praktis hanya Aceh yang menyatakan homoseksual itu ilegal. Kondisi ini dapat membuat kaum LGBT mendapat perlakuan diskrimantif secara hukum negara maupun hukum sosial. Di kalangan sipil, kasus penggerebekan acara pesta LGBT biasanya memakai pasal pornografi. Untuk di kalangan militer, biasanya menggunakan KUHP Militer Pasal 103 yang mengatakan prajurit dapat dihukum apabila membangkang atau tidak menaati perintah dinas. Namun penggunaan pasal ini tidak menjelaskan hukuman apa yang harus diberikan. Jadi, hukumannya tergantung dari atasan, ada yang memutuskan pemecatan, penjara, atau hal lainnya seenaknya atasan.
Rasanya perlu adanya Undang-undang negara maupun militer yang mengatur isu LGBT ini. Sebaiknya, UU tersebut bukan mengisyaratkan pro atau kontra terhadap perilaku LGBT, namun lebih kepada jaminan hak asasi manusia terhadap kaum LGBT. Jika dirasa perilaku LGBT itu salah, baiknya hukuman tetap dijatuhkan namun tetap memerhatikan hak asasi mereka di mata hukum maupun sosial berkat UU tersebut.
Dengan begitu, ada hukum dan sanksi yang jelas terhadap warga negara maupun aparat militer terkait perilaku LGBT. Jadi jika ada anggota aparat yang terbukti sebagai homoseksual, hukuman yang dijatuhkan tidak seenaknya diberikan dari atasan, namun sudah tertuang di UU Militer.
Penulis: Fabby Nidufias Daraja
Ilustrator: Alvina Nur Asmy