Setiap peristiwa besar yang terjadi secara dramatis dan berdampak luar biasa akan mengubah persepsi orang terhadap peristiwa serupa dan hal yang berkaitan dengannya. Sebagai bukti, kita putar kembali tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya Agustus 2019 silam. Tindakan rasisme tersebut begitu memukul harga diri mahasiswa Papua. Banyak warga yang bersimpati atas kejadian memalukan tersebut dengan menyampaikan duka dan mengutuk aktor rasis, termasuk aparat negara yang ikut terlibat.

Percaya atau tidak, kembali ke ihwal perubahan persepsi, rasisme akan selalu ada hanya beda model. Masalah utamanya adalah snobisme. Snobisme dalam konteks ini, secara gamblang dimaknai: “tidak mungkin keberagaman akan bisa hadir di tengah masyarakat jika setiap individu selalu ingin unggul dari segala aspek”. Snobisme akan selalu menjadi ‘musuh’ keberagaman. Penulis realistis semoga hal ini bisa diredam meskipun hanya sebentar.

Akar Rumput, Dampak Besar

Ketika snobisme selalu menjadi prinsip hidup banyak orang, gelombang besar korban rasisme mahasisiwa Papua di Malang dan Surabaya yang kemudian melakukan demonstrasi menuntut kemerdekaan Papua, hal tersebut tidak bisa disalahkan. Kembali ke perubahan persepsi di atas, ketika ada gelombang besar tersebut, respon pemangku pemerintahan hanya sekedar meredam turunnya mahasiswa Papua yang lebih besar. Namun, penyelesaian secara menyeluruh urung di lakukan.

Menilik analisis Andreas Harsono, senior Reseacher Human Rights Watch, mengungkapkan, permasalahan tentang keberagaman akan selalu menjadi isu miring, jika pemerintah secara terus-menerus mendiskriminasi aktivis Papua. Misal di masukkan ke penjara atas dasar menghasut dan makar. Seharusnya, pemerintah belajar mendengar dan merespon baik tanpa ada diskriminasi kebijakan tersebut.

Perlu diketahui, seperti yang diberitakan kompas.com, sebelumnya ada tujuh tahanan politik (tapol) yang mengorganisir aksi protes tindakan rasis mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka yaitu, Fery Kombo, yang merupakan Mantan Ketua BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih. Selain itu juga ada Alexander Gobay, Irwanus Uropmabin, Hengky Hilapok dari Universitas Sains dan Teknologi di Jayapura kemudian tiga aktivis Papua, Buchtar Tabuni, Agus Kosay dan Stevanus Itlay.

Di sisi lain, vonis terhadap terdakwa pelaku rasis yang notabene Aparatur Sipil Negara (ASN) di Surabaya tersebut, hanya dijatuhi 5 bulan penjara. Jelas ini merupakan tindakan diskriminasi segi kebijakan hukum dari pemerintah. Apalagi, yang dijadikan terdakwa dalam kasus ujaran rasisme terhadap mahasiswa papua ini hanya dijatuhkan kepada 1 orang saja. Padahal, masih banyak aparat negara lainnya yang terlibat.

Kehabisan Cara

Masih pendapatnya Andreas, pemerintah sering kelabakan dalam menghadapi isu rasisme Papua. Menurutnya pemerintah harus belajar banyak kepada Gus Dur dalam menyikapi perbedaan. Dia menilai tidak ada presiden yang paling dicintai rakyat Papua selain Gus Dur.

Gus Dur pernah dihadapkan pada peristiwa pengibaran bendera bintang kejora sewaktu berkunjung ke Papua. Tanggapan Gus Dur sangat sederhana, hal tersebut lumrah, karena hubungannya dengan kultural. Baginya bintang kejora adalah bendera kebanggaan orang Papua, tidak masalah mengibarkannya asalkan tidak lebih tinggi dari bendera merah putih (Indonesia).

Sikap Gus Dur ini menegaskan kedewasaan berpikir tentang sebuah impact misi yang belum terpenuhi bagi orang Papua. Aktualisasinya, selain itu juga pada zaman pemerintahan Gus Dur mengabulkan permintaan agar sebutan nama Irian Jaya diubah sebutannya menjadi Papua. Berbeda dengan zaman Presiden setelah Gus Dur yang cenderung menggunakan kekerasan dan diskriminasi hukum dalam meredam perpecahan.

Bagi Gus Dur, kesenjangan moral adalah akar dari munculnya gerakan separatis. Bagaimana tidak, ketika kepedulian sosial dan pendidikan dikalahkan oleh kepentingan pembangunan infrasturktur, Apalagi tidak ada sinkronisasi antara budaya kultural setempat dengan pembangunan infrastruktur yang terkesan modernasi prematur. Itupun jika kita mengungkap pemanfaatan infrastruktur tersebut, justru lebih banyak dinikmati oleh warga transmigran Papua. Bahkan menyebabkan terjadinya marjinalisasi terhadap warga pribumi Papua.

Jumlah penduduk asli Papua, berdasarkan sensus Kementerian Sosial 2010, sekitar 73,57% (2.121.436 jiwa), sementara jumlah pendatang 22,84% (658.708 jiwa). Lima kabupaten dengan mayoritas non-Papua adalah Merauke (62,73%), Nabire (52,46%), Mimika (57,49%), Keerom (58,68%), dan Kota Jayapura (65,09%). Ke-23 kabupaten lain di Papua dan Papua Barat masih didominasi oleh orang asli Papua (tirto.id). Hingga tahun 1990, sekitar 4,3 juta hektar hutan tropis telah ditebang untuk keperluan pembukaan lahan pembangunan pemukiman dan perusahaan. Tahun 2020 ini, pembangunan infrastruktur besar-besaran dari pemerintah apakah sesuai dengan kebutuhan rakyat pribumi Papua? Sekali lagi, snobisme masyarakat akan selalu melekat jika pemerintah saja mendiskriminasi kebijakan yang sembrono.

Di tengah kehabisan cara yang dihadapi oleh pemerintah saat ini dalam meredam perpecahan, dirasa sangat penting mengawal pendapat Gus Dur dalam menghadapi konflik. Hegemoni kultural-toleransi yang digencarkan Gus Dur menjadi peninggalan berharga bahwa gerakan separatis tidak harus ditanggapi dengan kekerasan. Antropologi kehidupan segera diaktualisasikan agar mengerti tentang sebuah sifat atau moral yang berbeda setiap individu. Gus Dur memperjuangkan misi warga negara yang berusaha menempatkan seluruh unsur warga negara secara setara. Masyarakat Papua sama-sama mempunyai aspirasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah. []

Ilustrator: Alvina Nur ‘Asmy