Kekerasan seksual telah menjadi bahasan panas dalam masyarakat. Berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi membuat banyak pihak merasa bahwa Indonesia mengalami situasi darurat perlindungan seksual, terutama bagi korban kekerasan seksual. Ditariknya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari program legislasi nasional (prolegnas) 2020 menunjukkan ketidakbecusan wakil rakyat Indonesia. Anggota dewan perwakilan rakyat dan pemerintah dinilai gagal menentukan skala prioritas pembuatan undang-undang dan mengabaikan begitu saja kebutuhan publik termasuk korban kekerasan seksual.

Padahal pengesahan RUU PKS ini sebenarnya sangat mendesak. Beragam aksi telah dilakukan untuk medorong rancangan tersebut segera disahkan. Salah satunya adalah aksi puluhan santri di depan Mapolda Jawa Timur, Surabaya Juli 2020. Aksi protes ini dilatarbelakangi pencabulan oleh anak kyai terhadap santriwati di salah satu pesantren di Jombang. Terlebih lagi di masa pandemi covid-19, kasus kekerasan seksual makin marak.

Dari data yang dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan), jumlah kekerasan terhadap perempuan tahun 2016 berjumlah 259.150 kasus, jumlah ini meningkat pada tahun 2017 dengan jumlah 348.446. Sedangkan Semenjak pandemi covid-19, pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus pada perempuan sebesar 75 persen. Total kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi sebanyak 14.719. Kasus yang terjadi dipecah menjadi 3 kategori, ranah personal sebesar 75,4 persen atau 11.105 kasus, ranah komunitas 24,4 persen atau 3.602 kasus, dan ranah negara 0,08 persen atau 12 kasus.

Total keseluruhan kekerasan pada perempuan yang paling banyak terjadi adalah jenis kekerasan fisik yang jumlahnya mencapai 5.548 kasus. Kemudian kekerasan psikis sebanyak 2.123 kasus, dan kekerasan seksual 4.898 kasus. Sedangkan kekerasan ekonomi mencapai 1.528 kasus dan kekerasan khusus terhadap buruh migran dan trafficking mencapai 610 kasus. Mari beralih menilik kasus yang terjadi di tingkat regional, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Indonesia Kabupaten Jember mencatat bahwa pengaduan yang diterima meningkat. Pada Juni 2020 terdapat 16 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pertanggal 12 Agustus 2020 sudah mencapai 10 kasus. Kekerasan yang diterima korban pun beragam mulai dari kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung dan ayah tiri, KDRT, hingga pemaksaan aborsi. Tentu saja kekerasan ini menimbulkan trauma bahkan depresi pada korban.

Sementara itu draf RUU PKS yang mengatur mengenai pidana atas berbagai jenis kekerasan, baik pemerkosaan, perbudakan seksual, perkawinan paksa dan kekerasan dalam rumah tangga sempat menjadi inisiatif DPR pada tahun 2017. Namun dicabut dari prolegnas karena terhambat oleh penyelesaian Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Padahal dalam draf undang-undang PKS juga mengatur perlindungan atas hak korban bila terlanjur terjadi kekerasan seksual. Jaminan perlindungan bagi korban juga sangat penting, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap karena korban tidak berani melapor.

RUU PKS juga merupakan bentuk penyempurnaan dari aturan hukum tentang kekerasan seksual. KUHP hanya mengatur kejahatan perkosaan yang diatur dalam pasal 285 sampai 288 yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada korban kekerasan. Dalam konteks perkosaan pun, hukum Indonesia mengartikan hanya memenuhi kebutuhan akan tindak pemaksaan hubungan seksual sebagai penetrasi penis ke vagina dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut.

Meskipun sudah ada beberapa Undang-undang yang mengatur pidana tindak kekerasan yakni UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No 23 tahun 2002 yang diubah dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun ketiga UU tersebut memiliki ruang lingkup yang terbatas pula pada rumah tangga, anak, dan perdagangan orang. Sedangkan dalam berbagai kasus salah satunya yang terjadi di Jember Jawa Timur. LBH kesulitan memberikan pengawalan hukum, bahkan jaksa mengembalikan berkas hanya karena korban berusia diatas 18 tahun dan tidak berteriak pada saat kejadian.

Makane aku gemes ketika RUU PKS dikeluarkan dari prolegnas, pengen nangis rasane,” ujar Yamini, ketua LBH Jentera, Jember.

Pentingnya penegakan hukum sebagai penjamin terselenggaranya hak manusia adalah mutlak. Adanya hak perempuan bukan berarti perempuan selalu diistimewakan di depan hukum, lantas terlihat selalu mengambinghitamkan laki-laki atas kasus yang terjadi. Tetapi melihat kondisi kehidupan bermasyarakat yang masih melakukan budaya victim blaming sehingga kerap kali menimbulkan stigma negatif. Tak hanya itu, tekanan psikis yang luar biasa terhadap korban dan membuat korban sulit mendapatkan haknya, maka sudah seharusnya hukum pun mengatur secara spesifik kekerasan seksual dalam instrumen yang kuat.

Segala upaya ini harus diperjuangkan kembali agar korban dapat mendapatkan keadilan. Seyogianya, hukum berlaku sebagai pemelihara hak bagi korban. Sehingga penyintas dan masyarakat dapat hidup aman dan terjamin. []

Ilustrator: Alvina N.A.