Sedikit aneh dan risih dengan penggunaan diksi disabel sebagai bentuk sederhana dari kata disabilitas. Pengucapannya terdengar sama dengan diksi Bahasa Inggris disable yang berarti nonaktif. Jarang ada yang menggunakan atau lebih memilih menggunakan diksi difabel. Secara pengucapan pun keduanya memang terdengar hampir mirip. Hanya beda huruf konsonan kedua, yang di keyboard letak keduanya hampir bersebelahan. Saya lebih memilih menggunakan diksi difabel daripada dua lainnya. Ternyata ketiga kata tersebut memiliki arti dan konotasi yang bebeda.
Disabilitas merupakan kata benda serapan dari bahasa asing, disability berasal dari kata dis dan ability. Cambridge Dictonary mengartikan suatu penyakit, cedera atau kondisi yang menyulitkan seseorang melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain. Sedangkan Oxford Dictionary mengartikan kondisi fisik atau mental yang membatasi gerakan, perasaan atau aktivitas seseorang. Pada istilah disabel yang mengacu pada disabled menurut Oxford Dictionary merupakan kata sifat. Artinya seseorang dengan kondisi fisik atau mental yang membatasi gerak, perasaan atau aktivitas mereka.
Keduanya jika dibeberapa translator diartikan secara sederhana sebagai cacat, di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengacu pada cacat tubuh. Kerusakan pada tubuh seseorang, baik badan maupun anggota badan, baik kehilangan fisik, ketidaknormalan bentuk maupun berkurangnya fungsi karena bawaan sejak lahir atau karena penyakit dan gangguan lain semasa hidupnya sehingga timbul keterbatasan yang nyata untuk melaksanakan tugas hidup dan penyesuaian diri.
Istilah disabled awalnya menjadi standar dan umum digunakan dalam Bahasa Inggris baik British maupun US untuk menggantikan istilah lainnya. Namun, beberapa orang menganggap penggunaan kata ini kurang tepat sebagai kata benda jamak. Mereka menganggap istilah itu tidak manusiawi dan terkesan memberikan perlakuan yang berbeda. Menghindari hal itu, istilah yang lebih bisa diterima adalah Person with Disability (PWD) berdasarkan ratifikasi Konvensi PBB Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UN Convention on The rights of Person with Disabilites). Dalam Bahasa Indonesia artinya penyandang disabilitas. Istilah tersebut secara resmi ada di UU no 19 tahun 2011 untuk menggantikan kata penyandang cacat yang sebelumnya digunakan di UU no 4 1997.
Sedangkan difabel yang juga merupakan serapan bahasa asing, akronim dari differently able atau bisa juga different ability. Bila diterjemahkan, berbeda yang dapat dilakukan atau kemampuan yang berbeda. Maksud dari istilah tersebut untuk menunjukkan bahwa difabel itu bukan kekurangan, tapi memiliki kemampuan yang berbeda, atau melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda. Sebetulnya ada perbedaan konseptual antara kata difabel dan penyandang disabilitas.
Difabel mengacu pada diri subjek yang memang memiliki kemampuan berbeda dibanding orang lain pada umumnya. Seperti saat orang tidak memiliki tangan dia masih bisa menggunakan kakinya, untuk menulis, melukis atau yang lainnya. Pada kata penyandang disabilitas, mengacu pada lingkungan di luar subjek yang belum akomodatif sehingga menyebabkan disabilitas. Ketika lingkungan di sekitar sudah akomodatif dan subjek dapat berkegiatan tanpa halangan lagi, maka dia akan jadi person yang seutuhnya, tanpa embel-embel disabilitas lagi. Jadi konotasinya difabel lebih positif dibandingkan kata disabled.
Dari ketiga istilah tersebut, disabilitas dan difabel masuk di dalam KBBI. Jadi selama ini penggunaan diksi disabel sebagai bentuk sederhana dari disabilitas keliru karena tidak resmi digunakan dalam Bahasa Indonesia. Namun, anehnya di KBBI difabel malah diartikan sebagai penyandang cacat. Padahal sesuai UU no 19 tahun 2011 yang berlaku seharusnya menggunakan istilah penyandang disabilitas.
Sangat disayangkan Indonesia masih galau dalam menggunakan diksi-diksi tersebut. Istilah cacat dan tuna yang berkonotasi negatif masih digunakan untuk menyebut kategori penyandang disabilitas, seperti tunarungu yang berarti rusak/cacat pendengaran. Bagi sebagian masyarakat menganggap istilah tunarungu lebih halus dari pada tuli. Sedangkan tuli terkesan kasar dan tidak sopan apabila diucapkan pada orang lain, sehingga bisa membuat orang lain tersinggung atau marah. Wajar apabila orang normal lain memiliki pandangan demikian terhadap kata tuli dan lebih memilih menggunakan kata tunarungu.
Surya Sahetapy merupakan salah satu lelaki yang tak bisa mendengar, Ia juga menjadi aktivis kesejahteraan kaum tuli, dalam perspektifnya Ia mengatakan bahwa tuli merupakan terminologi sosial budaya. Bagi kaum tuli, tunarungu merupakan istilah medis dimana kehilangan pendengaran merupakan masalah sehingga harus diperiksa dan diobati supaya bisa mendengar seperti orang normal. Pada kenyataannya meskipun sudah mengobati dan menggunakan alat bantu dengar, masyarakat masih menganggap sebagai penyandang disabilitas. Sedangkan, kaum tuli tak perlu memperbaiki tapi menggunakan bahasa isyarat sebagai identitas, budaya dan komunitas.
Ini berhubungan dengan sosial di Amerika, sebagian besar Tuli mengadopsi istilah dari kata Deaf yang lebih mengacu pada kelompok minoritas linguistik yang menggunakan bahasa isyarat. Tuli memiliki budaya tersendiri berbeda dengan Orang Dengar. Orang Dengar menggunakan bahasa suara untuk berkomunikasi, sedangkan tuli menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat dan budaya tuli merupakan identitas dan jati diri juga merupakan salah satu ilmu pengetahuan.
Adhi Kusumo Bharoto salah seorang tuli menjelaskan mereka berkomunikasi dengan cara berhadapan dan mata saling memandang. Apabila salah satu tengah berbicara menggunakan bahasa isyarat, kawan bicaranya tiba-tiba menoleh atau mata memandang arah lain bisa dianggap tidak sopan. “Contoh lain, kami memiliki nama isyarat. Sedangkan Orang Dengar tidak punya nama isyarat kecuali telah berkecimpung dengan tuli lain,” terangnya. Ketika mengenal seorang tuli lalu bergaul, lama-lama akan diberi nama isyarat sebagai identitas.
Pendidikan Ramah Penyandang Disabilitas Masih Langka
Surya mengutip sebuah sumber dari World Federation of The Deaf (WFD), terdapat 70 juta orang tuli di seluruh dunia tetapi hanya 2% bisa mengakses pendidikan melalui bahasa isyarat. Sebanyak 20% anak-anak tuli di negara berkembang mendapatkan akses pendidikan. Hanya 1% anak-anak tuli bersekolah di Sekolah Dasar reguler.
Sementara itu disektor pendidikan, Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian B masih menggunakan metode oral (ajaran Belanda) dan Sistem Isyarat. Kurikulum pendidikan luar biasa untuk difabel pendengaran dari TK-SMA setara dengan pendidikan dari TK-SD (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 157 Tahun 2014). Hanya dua dari 1.546 sekolah tuli yang menggunakan pendidikan dengan sistem bilingual (The Little Hijabi Homeschooling for the Deaf di Bekasi dan Sekolah Sushrusa di Denpasar, Bali). Sementara, jumlah juru bahasa isyarat pendidikan masih terbatas.
Di Amerika pada tahun 1980 seorang tuli (S1) kemampuan literasinya setara dengan anak SD. Delapan tahun kemudian pendidikan diubah dan diganti bilingual. Dengan tenaga juru ketik atau Guru Pendamping Khusus (GPK) menggunakan bahasa oral. Dengan bilingual maka kemampuan literasi pun juga meningkat. Pendidikan dengan sistem bilingual dilakukan agar kemampuan setara dan bisa masuk sekolah reguler. Di sekolah reguler bagaimana mereka memiliki shadow teacher yang mengerti akan kebutuhan.
Menyoroti pentingnya pendidikan di Indonesia, Surya Sahetapy menyatakan bahwa yang utama adalah keluarga. Bagi orang Indonesia, orang yang tidak bisa berbicara merupakan “Masalah Berat”. Menurutnya banyak keluarga yang tidak memberi dukungan kepada seorang tuli. Stigma itu lahir dari masyarakat, meski sekarang banyak masyarakat yang sudah paham. Harus ada pertukaran siswa di SLB dan sekolah umum/reguler, supaya banyak masyarakat yang tahu dan paham sehingga tidak ada lagi diksriminasi. Juga bisa mengubah persepsi dan ketidaktahuan mereka akan tuli.
Negara Belum Ramah Penyandang Disabilitas
Tuli menjadi disabilitas karena sikap masyarakat yang awam, diskriminasi secara linguistik menciptakan disabilitas (Collin Allen, Presiden WFD, 2017). Sebagian orang masih menolak dipanggil tuli dan lebih nyaman dengan tunarungu. Hal ini juga karena minimnya jurnal atau artikel yang mengaitkan dengan definisi dan makna Tuli di Indonesia. Istilah tunarungu dalam bahasa Inggris sepadan dengan Hearing Impaired. Di Amerika, banyak sekali jurnal, artikel, teori, sejarah yang berkaitan dengan Tuli. Indonesia sendiri masih perlu banyak belajar dan sosialisasi tentang hal itu.
Adhi mengatakan sudah banyak upaya yang dilakukan oleh komunitas tuli atau organisasi tuli untuk mensosialisasikan kata Tuli. Ada pro kontra terkait penggunaan istilah, yang positif sebagian setuju dan memahami definisi Tuli sebagai pelajaran baru bagi mereka. Sedangkan yang negatif tidak setuju karena alasan yang bermacam-macam, ada yang bilang penggunaan kata Tuli terkesan kasar, tidak sopan, dan merendahkan.
Selain itu, sosialisasi penggunaan Tuli juga memerlukan proses yang panjang. Adhi berharap pemerintah turut mensosialisasikan penggunaan istilah tersebut. “Sejauh ini belum ada upaya dari pemerintah, tetapi sebagian orang dari pemerintah mengetahui penggunaan Tuli,” katanya. Tuli bukan merupakan sebuah kekurangan.
Mereka berharap masyarakat bisa mempelajari budaya mereka (Tuli), sebagaimana mereka belajar budaya orang normal. Selain itu mereka juga yakin bahasa Tuli maupun bahasa dengar sama-sama bisa dipelajari. Mencoba lebih memahami dari perspektif difabel, ikut andil dalam mendukung dan mensosialisasikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Agar difabel bisa mendapatkan hak sebagaimana warga negara dan diperlakukan secara layak. []
Selamat Memperingati International Day Of Persons With Disabilities
[Yudha Lutfi Fitrianto, penulis adalah mantan PU LPM Manifest FTP UJ periode 2013-2014, saat ini bekerja sebagai administrator database di Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial Kabupaten Magetan]