Pernah merasa kurang dengan sesuatu yang kamu miliki saat ini? Mungkin kondisi fisikmu, merasa tidak cantik atau kurang menarik karena wajah berjerawat, warna kulit pucat, dan berat badan yang tidak ideal? Atau malu dengan kemampuan berfikirmu yang lebih lambat? Keadaan finansial kurang mencukupi? Keluarga yang terlihat tidak seperti keluarga lain? Pemikiran tersebut merupakan segelintir dari pemikiran-pemikiran sebagian besar individu yang pernah atau bahkan sedang merasa insecure terhadap apa yang dimiliki. Penulis pun pernah merasakan hal tersebut. Lantas apa insecure itu dan mengapa hal ini penting untuk diketahui?
Dilansir dari Sehatq.com dan Beritagor.id, insecure merupakan rasa tidak aman yang dapat timbul saat seseorang merasa malu, bersalah, memiliki kekurangan, atau merasa tidak mampu terhadap suatu hal. Pada dasarnya, insecure merupakan perasaan normal yang dapat dirasakan oleh setiap individu. Namun, apabila rasa insecure ini terlalu berlebih maka akan berdampak tidak cukup baik untuk kondisi kesehatan mental maupun fisik dari individu itu sendiri.
Insecure dapat menurunkan rasa percaya diri, kenyamanan hidup berkurang, dan juga membuat seseorang merasa terasingkan dan terkucilkan dalam lingkungannya. Insecure juga dapat mempengaruhi seseorang untuk membuat tembok pembatas antara dirinya dengan lingkungan sekitar. Bahkan rasa insecure yang berlebihan dapat membuat seorang individu menyakiti dirinya sendiri. Seseorang yang pernah atau bahkan sedang merasa insecure akan setuju bahwa mereka merasakan beberapa dampak tersebut, memang tidak semua merasakan dampak yang sama, namun hal ini pasti sanggup untuk mempengaruhi kehidupan kita. Tanpa disadari, insecurity (rasa insecure) cukup menguras energi positif yang kita miliki.
Dari survei yang telah penulis lakukan (dengan responden dari teman-teman mahasiswa), 21 dari 29 responden merasa insecure dengan kondisi fisik dan pencapaian mereka. Tidak sedikit yang mengungkapkan pikiran yang sama dengan segelintir pemikiran yang telah penulis ungkapkan di awal tadi. Dua aspek inilah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial di masyarakat. Aspek pertama tentang kondisi fisik, anggapan fisik yang tidak sesuai dengan “standar” masyarakat seringkali menjadi pemicu utama untuk membuatnya menjadi hal lumrah untuk dijadikan bahan insecure. Rasa insecure terhadap aspek kedua yaitu pencapaian, dapat muncul karena membandingkan pencapaian diri sendiri dengan pencapaian orang lain.
Selain itu, media sosial juga turut ikut andil dalam terbentuknya insecurity (rasa insecure). Karena media sosial menjadi sarana tidak langsung yang memperlihatkan kondisi seseorang yang dianggap lebih baik dengan kondisi diri sendiri. Seperti akhir-akhir ini, seseorang cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berselancar di media sosial, melihat kondisi kehidupan orang lain yang membuatnya merasa rendah diri. “Wah, enak banget ya jadi dia”, “Dia bisa, kok aku nggak bisa ya”, “Cantik/ganteng banget ya dia, pasti banyak yang suka deh” pernah bergumam demikian? Atau gumaman lain yang terasa sama? Selamat, kamu telah menemukan faktor penyebab insecuremu, overthinking.
Overthinking merupakan salah satu faktor dari dalam diri yang menyebabkan timbulnya rasa insecure. Faktor lain yang menyebabkan rasa insecure dari dalam diri diantaranya, perfeksionis yang berlebihan, kurang percaya diri, ataupun selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Terdapat juga faktor dari luar, diantaranya pernah menjadi korban bullying, lingkungan toxic, maupun pola asuh yang kurang tepat.
Ternyata banyak faktor yang memicu timbulnya rasa insecure yang sangat berdampak bagi sebagian besar kehidupan seseorang. Namun, penulis mengajak teman-teman pembaca untuk merenungi kembali, sebenarnya siapa yang dapat mengendalikan insecure ini? Sebanyak apa pun dan berasal dari mana pun penyebab rasa insecure ini timbul, yang tetap memegang kendali penuh adalah diri kita sendiri. Salah satu responden dari survei mengatakan bahwa rasa insecure memanglah wajar, namun kita harus bisa mengolahnya menjadi potensi dan kelebihan untuk diri sendiri. Penulis sangat setuju dengan pendapat tersebut, memang kalau dipikir kembali kita tidak cukup adil untuk diri kita, selalu merasa kurang, sehingga perasaan tersebut sanggup menutupi kelebihan yang kita miliki. Kurang bersyukur, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan diri kita saat ini yang masih terbelanggu oleh bayang-banyang rasa insecure.
Kita dapat memulai untuk mencoba lebih memahami diri sendiri. Menerima perasaan yang kita miliki dan mencoba menghilangkan hal negatif yang selama ini sudah cukup mempengaruhi hidup kita. Ada baiknya lebih terbuka tentang segala hal yang kita rasakan. Semakin sering kita mencoba membuka diri maka semakin mudah untuk memahaminya. Masih banyak hal yang melekat didalam maupun diluar diri, yang tanpa kita sadari adalah suatu hal luar biasa yang perlu kita syukuri. Sudah cukup rasa insecure ini menambah kekhawatiran, kecemasan, rasa minder, dan perasaan negatif lainnya yang sebetulnya tidak perlu kita rasakan. Cobalah untuk sedikit adil pada dirimu, jangan memprioritaskan perasaan negatif dari dirimu maupun pendapat orang lain yang bisa menyakitimu lebih dalam lagi (tolong digaris bawahi, kamu sudah sukup banyak mendengarkan perkataan orang lain, jadi please prioritaskan dirimu mulai saat ini).
Memang tidak mudah untuk melepaskan diri dari belenggu insecurity (rasa insecure), namun setidaknya, tidak salah untuk mencoba menerima diri dan bersyukur atas kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki. Siapa pun kamu, dimana pun kamu berada, apa pun yang kamu miliki, dan semua hal tentang dirimu adalah suatu hal istimewa yang patut kamu syukuri. Seperti kutipan dari Film Imperfect “Ubah insecure jadi bersyukur”. So, kamu lebih memilih tetap insecure atau beranjak bersyukur? []
Penulis: Jenny Marlisa