Baru-baru ini, maraknya demonstrasi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat di seluruh penjuru tanah air untuk menuntut dicabutnya Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja atau yang kerap disebut Omnibus Law mewarnai dinamika sejarah panjang negeri ini. Kepentingan rakyat seolah diciderai oleh kepentingan kaum korporat yang berniat mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan alam dan juga sumber daya manusia yang tersedia. Wakil rakyat dan juga pemegang kebijakan tertinggi seolah termakan bujuk rayu dengan embel-embel investasi sehingga dengan riang gembira mereka melegalkan apa-apa yang berpotensi menyengsarakan rakyatnya, tanpa peduli dengan kebermanfaatan yang hampir tak berpihak pada rakyat kecil di Indonesia.

Niat baik tentang penyederhanaan dari aturan sebelumnya yang selalu disampaikan pihak DPR hingga presiden di muka publik, masih menjawab protes aksi demonstrasi: apakah upaya kemudahan investasi berbanding lurus dengan lestarinya lingkungan? Ataukah itu hanya pembenaran atas iming-iming cuan seolah menutup akal dan nurani sehingga mudah bagi rakyat untuk mati ditanahnya sendiri. Mengapa wakil rakyat menjadi tidak tahu diri dengan masih haha-hihi diatas penderitaan rakyatnya sendiri? Apakah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 sudah tidak dianggap keberadaannya sehingga hampir semua kebijakan yang disahkan berorientasi pada kepentingan investor saja, dan tidak berpihak pada kepentingan rakyatnya? Padahal sudah sangat jelas dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa segala kekayaan negara yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, dan bukan kepentingan korporat.

Penulis berpandangan UU Cilaka ini seolah berat sebelah, salah satu kebijakannya seolah mewadahi seluas-luasnya hanya untuk kepentingan pemilik modal saja. Lalu bagaimana nasib rakyat kecil kebanyakan yang berprofesi sebagai pekerja dan menggantungkan hidupnya hanya dari sektor industri yang beroperasi? Sejauh pandang, peran rakyat umum hanya mendapat bagian sebagai tenaga kerja kasar saja tanpa adanya jaminan sosial dan juga jaminan lainnya mengenai kesejahteraan hidup sebab segala kebijakan tersebut telah dihapuskan dan diganti dengan regulasi baru yang tidak cukup menguntungkan pekerja. Belum lagi dihapuskannya kebijakan pekerja tetap dan ditetapkannya sistem kontrak, hal ini menunjukkan tidak adanya keberpihakan kepada pekerja.

Kebijakan mengenai sistem pangan nasional dan juga peraturan tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan agaknya juga harus menjadi sorotan. Pemasukan barang impor dalam salah satu sumber pangan nasional yang nantinya diatur oleh pemerintah pusat, tanpa diberikannya rambu-rambu lebih lanjut agaknya cukup mengkhawatirkan karena ditakutkan akan mempengaruhi harga jual panen dalam negeri, dan hal itu jelas mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani. Belum lagi tidak adanya jaminan pasti tentang lahan pertanian berkelanjutan, yang dalam Pasal 122 RUU Cilaka menjelaskan bahwa penggunaan lahan dapat dialihfungsikan untuk kegiatan lainnya yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan. Jika sebelum UU Cilaka ini saja lahan-lahan di Indonesia belum cukup memenuhi kebutuhan pangan negara, lalu bagaimana jika UU ini sudah diterapkan? Dengan adanya pasal yang mengatur tentang lahan pangan, produksi pangan memilik kemungkinan penurunan karena adanya alihfungsi lahan, dan barang impor akan mudah masuk ke dalam negeri. Selanjutnya, dapat dipastikan harga jual barang petani dalam negeri harus bersaing di negerinya sendiri.

Jika ditilik dari narasi di atas, banyak pasal-pasal yang merugikan rakyat, dan sampai saat ini belum ada iktikad baik dari pemerintah maupun dewan wakil rakyat untuk merombak ulang atau merevisi peraturan tersebut, yang jika dilihat lebih jauh memiliki kecacatan baik secara formil maupun materil, baik dalam proses perumusannya maupun kandungan isinya. Dewan rakyat seolah enggan mendukung penuh perjuangan dalam menggagalkan kelanggengan dari Undang-Undang ini. Hal ini tercermin dalam demonstrasi pertama dan kedua yang dilakukan sejumlah elemen masyarat di Kabupaten Jember sejak disahkannya UU Cilaka yang meleburkan diri dalam satu aliansi yakni #JemberMenggugat.

Menurut kesaksian Rizal, salah satu demonstran, pada saat aksi pertama ketua DPRD Jember dan jajarannya seolah hanya menggugurkan kewajibannya saja dengan mengirim penolakan tentang UU Cilaka kepada DPR pusat tanpa mendengarkan aspirasi yang disampaikan terlebih dahulu. Surat gugatan yang dikirimkan juga tidak mengatasnamakan DPRD Jember, melainkan aliansi yang melakukan aksi kala itu. Lalu, dimana peran wakil rakyat dalam mengawal dan memperjuangkan hak rakyat? Apakah mereka terlalu takut dengan keamanan kursi empuk yang didudukinya akan hilang jika ikut turun mengawal kepentingan rakyatnya sendiri? Apakah mereka lupa pada siapa yang menempatkan mereka pada posisi itu ketika pesta demokrasi digelar? Ah, agaknya memang seperti itu adanya. Hal serupa terjadi pada aksi kedua yang digelar pada hari Kamis, 22 Oktober lalu. Tidak ada satu orangpun anggota dewan yang keluar dari gedung yang mereka agung-agungkan itu untuk mendengar segala keluh kesah rakyat yang digelar dalam mimbar bebas rakyat.

Tidak adanya support yang diberikan mengharuskan rakyat melawan atas kejahatan yang terjadi ditanahnya sendiri. Bagaimana mungkin, negara yang kaya raya tidak dapat dinikmati rakyatnya dan justru diperas untuk kenikmatan segelintir orang saja? Negeri ini milik siapa? Jika hak-haknya tidak dipenuhi, dan tuntutannya tidak dituruti, untuk siapa para pejabat berdasi itu mengabdikan diri?

Ditengah pandemik yang belum pasti kapan berakhirnya, yang dibutuhkan rakyat adalah kabar baik dinamika kehidupan, bukan malah dihadapkan pada keputusan yang tak berpihak kepada rakyat negeri ini. Rakyat ini menanti dan mengharap dengan sepenuh hati kebijakan sebijak-bijaknya dari penguasa negeri, untuk memberi keadilan ditanahnya sendiri. []

Penulis: Sindy Rosa D.

Fotogtafer: Rifki Abdul Rahman S.