Ini adalah cerita tentang segelas cokelat panas yang perlahan dingin, tentang bagaimana bunga perlahan mekar, dan tentang bagaimana seorang pria membenci hujan.
Hujan deras datang pada sore itu. Terlihat dari dalam kafe, jalanan telah basah olehnya. Air pun terlihat mengalir pada jendela kafe. Di dalam kafe penuh terisi oleh manusia yang menunggu kepergian hujan, agar mereka bisa kembali ke istana ternyaman mereka. Tak terkecuali dengan Roy dan Rosa. Dua cangkir cokelat panas dan sepiring french fries tertata rapi menemani perbincangan mereka menanti hujan pergi.
Dua insan ini bukanlah sepasang kekasih. Hanya dua teman lama yang sering berjumpa untuk mendongengkan kisah hidup mereka dan juga kisah para penjelajah duniawi yang tidak terkekang oleh waktu.
“Gimana? Sudah nyaman atau belum nih sama pekerjaanmu sekarang?” tanya Rosa tentang pekerjaan baru Roy sebagai pelayan di kafe tempat mereka bertemu sekarang.
“Hmm… Sejauh ini, aku masih belum menemukan bagian buruk dari tempat ini. Jadi ya, nyaman saja.” jawab Roy dengan gelagat berpikir keras.
“Aku sempat kaget ketika tahu kamu kerja di sini. Kafe ini lumayan dekat dengan toko bungaku, jadi aku bisa sering mampir buat jenguk Roy.” ucapnya dengan senyum.
“E… ya.. Aku sudah tiga minggu di sini. Aku bisa bilang kalau tempat ini bagus dan cocok untukku.” jelas Roy, sedikit malu dengan akhir ucapan Rosa.
Rosa meminum sedikit cokelat panasnya, sembari menutup mata. Kemudian tersenyum puas. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia suka dengan secangkir cokelat di tangannya.
“Minum cokelat panas ketika hujan seperti ini memang yang terbaik! Iya kan?” ucap Rosa.
“Hujan… ya?” bisik Roy dalam hati. Sebuah kata yang masih meninggalkan luka mendalam di dalam dirinya.
“Yah, mungkin kamu benar.” ucap Roy, melemparkan pandangannya keluar jendela dan tersenyum pahit.
Rosa merasakan sebuah jarum tiba-tiba menusuk jantungnya. Sebuah senyuman yang menyakitkan. Hanya terpancar rasa sedih, duka, dan sepi darinya. Senyum yang terus terulang saat Roy berhadapan dengan hujan. Rosa selalu saja lari, enggan untuk menanyakannya. Rosa tahu. Di balik senyuman itu, ada sebuah batas yang tidak mudah untuk dia masuki. Rosa tidak tahu apakah Roy akan membiarkannya melewati batas itu.
Kenangan lima tahun lalu melintas di kepalanya. Saat itu langit gelap berawan. Jutaan tetes air serentak jatuh membasahi bumi. Rosa yang ingin bergegas ke perpustakaan, terjebak di gedung kampus. Dari depan pintu kampus, matanya menangkap sesosok pria berdiri tegap tak jauh di depannya. Pria itu berdiri tegap dengan kepalanya menghadap ke langit, melihat jauh menembus hujan ke arah awan yang gelap. Sebuah payung menggantung di tangan kirinya. Tanpa pikir panjang Rosa mendekati pria itu. Namun, tidak sempat Rosa memanggilnya, kakinya berhenti melangkah dan badannya mematung. Rosa terpaku melihat ekspresi pria itu. Dia tersenyum, senyum pahit. Senyum yang penuh dengan kesedihan, kesepian, dan rasa duka. Tubuh Rosa membeku, merasakan dingin dari senyuman pria di depannya. Pria itu lalu menoleh ke Rosa yang berada tak jauh di samping kirinya. Seketika Rosa tersadar kembali.
“E… Permisi, aku Rosa. Boleh minta tolong antar aku ke gedung perpustakaan? Keburu terlambat mengembalikan buku, nih.” tanya Rosa dengan nada terburu-buru.
Pria itu melihat ke tangan kirinya yang membawa payung, lalu menatap Rosa.
“Bawa saja. Aku sedang tidak ingin melawan hujan kali ini.” ucapnya sembari menyodorkan payung di tangan kirinya. Ekspresi gelap tadi menghilang dari wajahnya.
“Aku Roy. Sepertinya kita satu fakultas. Kamu bisa kembalikan besok pagi, sekalian aku ada kelas.” lanjutnya.
Saat itulah pertama kali mereka bertemu. Sejak pertama Rosa menemukannya, dia masih belum bisa mengerti perasaan Roy setiap hujan datang. Begitu sakit dan dingin untuk dirasakan. Sebuah perasaan yang memuakkan untuknya. Namun kali ini, dia sudah memantapkan hatinya.
“Hei, Roy. Apa yang kamu rasakan setiap melihat hujan?” tanya Rosa dengan nada serius.
Sedikit kaget dengan pertanyaan Rosa yang tiba-tiba, Roy terdiam menatap mata Rosa yang serius menatapnya.
“Hujan… ya? Bagaimana aku menjelaskannya?” jawab Roy perlahan menutup matanya.
“Aku benci hujan. Aku tidak ingat punya kenangan baik dengan hujan. Tanpa alasan yang jelas, hujan mengutuk keberadaanku.” ucap Roy sambil tersenyum pahit.
“Hujan mengambil semua hal berharga bagiku. Ketika aku kecil, orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. Mobilnya tertimpa pohon tumbang akibat hujan deras. Menginjak 15 tahun, aku tertabrak mobil yang tergelincir karena hujan deras. Alhasil kakiku tidak bisa digunakan untuk aktivitas berat lagi, dan aku harus menyerah pada impianku menjadi atlet basket. Hujan juga merenggut kucing yang telah setia menemaniku. Petir menyambarnya dikala badai. Aku masih bisa merasakan dingin tubuhnya yang kaku tak mau bergerak saat kutemukan dia di atap rumahku. Sejak saat itu, aku hanya berpikir apa lagi yang akan hujan ambil dariku ketika dia datang.” cerita Roy, tentang bagaimana dia membenci hujan.
Rosa hanya bisa terdiam. Dia terkejut, tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin menangis, tidak bisa menahan beban dari pengakuan Roy. Namun, dia juga merasa tidak bisa meninggalkan Roy yang menunjukkan kesedihannya padanya.
Setelah beberapa saat terdiam, terlintas di kepalanya-
“Besok pagi kamu kosong, kan? Ayo ikut aku ke taman bungaku!” ucap Rosa secara tiba-tiba.
“Taman bunga?” tanya Roy yang terkejut dengan ajakan mendadak ini.
Rosa dengan sedikit ragu meminta Roy untuk mengantarnya ke sana. Rosa merasa dia harus melakukannya. Roy tidak tahu apa maksudnya, hal ini sangat berbeda dengan apa yang Roy bayangkan. Rosa terus memaksanya, hingga Roy berkata ‘baiklah’.
Taman bunga yang dikatakan Rosa terletak rumah orang tuanya, di pinggiran kota. Tidak terlihat gedung menjulang, hanya ada beberapa bangunan dan pohon-pohon di jalanannya. Tiba di sana, anak kota seperti Roy hanya bisa terkesan dengan luasnya rumah Rosa.
“Kamu langsung ke belakang saja, Roy. Lewat samping. Duduk dan tunggu di taman. Aku mau bikin minum dulu.” ucap Rosa begitu mereka sampai di rumah.
Menuruti kata Rosa, Roy mulai berjalan melewati jalan di samping rumah. Roy menemukan banyak tanaman hias di depan dan samping rumah Rosa. “Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya.” dalam hati Roy berkata. Setelah berjalan 35 langkah, dia bisa melihat bagian belakang rumah Rosa.
Sesaat Kemudian, Roy terpaku. Hamparan bunga di depannya begitu luas, seperti tanpa batas.
Matanya hanya bisa tertuju lurus, memandang keindahan yang terpapar di depannya. Merah, biru, kuning, semua membaur memanjakan matanya. Roy dapat mendengar bunga-bunga di depannya berkata, “kemarilah” tanpa mempedulikan suramnya wujud langit. Pemandangan yang tak pernah dia lihat selama dia hidup. Dia tidak percaya dapat melihat suatu keindahan seperti ini. Satu kata yang dapat mendeskripsikannya, ‘cantik’.
Kaki Roy melangkah melewati rerumputan di sela-sela bunga, menyusuri luasnya hamparan bunga. Terpaan angin terlihat menerbangkan beberapa kelopak bunga. Kedua tangannya membelai bunga-bunga di kanan-kirinya, merasakan mereka sedang menari menyambut kedatangannya. Roy juga merasakan bunga-bunga di sana ikut tersenyum bersamanya. Sebuah ucapan ‘Selamat datang’ yang sangat hangat. Tidak terasa, percikan air mulai menyentuh kulitnya. Hujan mulai turun.
“Bisakah kamu menyingkir, kamu takut hujan kan?” ucap Rosa datang membawa nampan.
Roy serasa ditarik kembali ke realita. Mengisyaratkan Roy untuk menyinkir, Rosa berjalan cepat melewati Roy yang masih berdiri menghalanginya menuju bangunan kecil di tengah taman. Roy yang baru terbangun dari khayalannya baru bisa merasakan tetesan-tetesan hujan mulai menyelimuti kulitnya. Dia bergegas mengikuti Rosa ke bangunan itu.
Sebuah bangunan terbuka tanpa pintu dan jendela, hanya ada atap dan tiang-tiang yang menyangganya. Di dalamnya terdapat sebuah meja kecil dan empat kursi yang mengelilinginya. Sangat terlihat bahwa bangunan ini dibuat agar orang dapat bersantai merasakan indahnya taman bunga. Roy datang dengan sedikit kehujanan. Di meja telah tertata dua cangkir cokelat panas, satu teko, dan sepiring makaron untuk menemani mereka. Rosa yang telah duduk menyuruh Roy untuk duduk berhadapan dengannya.
“Gimana? Cantik kan?” tanya Rosa dengan senyum lebar di wajahnya, seperti seorang ibu yang sedang membanggakan anak-anaknya.
“Ya, sangat cantik. Mereka menyambutku ramah.” ucap Roy dengan senyum bahagia. Sebuah senyum yang begitu menyilaukan di mata Rosa.
“Keluargamu yang menanam ini? tanya Roy yang tidak bisa berhenti melihat sekitar dan terus tersenyum.
“Aku yang tanam semuanya.” ucap Rosa dengan senyum, menatap lurus ke mata Roy.
“Aku sangat cinta bunga. Karena itu aku ingin menunjukkan ini padamu. Apa kamu dapat menciumnya?” ucap Rosa sembari menutup mata, kemudian menarik nafas.
“Harum.. dan juga manis. Dari sekian banyak bunga, aroma bunga ini yang paling menenangkan. Aroma dari Lili Hujan, bunga favoritku. Tetesan hujan dan terpaan angin di sini menyebarkan aromanya. Apa kau tahu? Lili hujan hanya bisa tumbuh dan mekar dengan banyak air.” perlahan Rosa membuka matanya dan tersenyum lembut.
“Sama seperti Lili Hujan, semua bunga di sini mekar karena langit mau memandikan mereka, membasahi mereka dengan air hujan. Mungkin, hujan hanya memberi petaka untukmu. Sebuah kutukan untukmu. Karena itu kau membencinya. Tapi ketahuilah Roy. Ketahuilah, tetesan-tetesan air inilah yang membesarkan bunga-bunga ini. Bunga-bunga yang sangat aku cintai. Sebab itu juga… Aku cinta dengan hujan.” ucap Rosa, memandang lurus ke mata Roy.
“Lalu, bukankah cokelat panas memang cocok diminum waktu hujan?” kata Rosa yang kemudian meminum cokelat panas, lalu tersenyum kepada Roy.
Roy tahu semua itu. Dia tahu aroma manis di sini menenangkan hatinya. Dia tahu semua bunga di sini tidak bisa bertahan tanpa datangnya hujan. Dia tahu tentunya bahwa Rosa mencintai hujan, tidak seperti dirinya. Dia juga tahu cokelat panas ini memberi kehangatan tersendiri dikala hujan.
“Kau benar, Rosa. Tapi ketauhilah. Semua hal itu tidak dapat mengubah perasaanku saat ini terhadap hujan. Jika di hatimu ada cinta untuk hujan, di hatiku tertanam hanya satu rasa. Benci. Tidak akan hilang rasa ini, karena hujan selalu mengukir kenangan buruk-“
“Kalau begitu aku hanya harus memberimu kenangan yang bagus tentang hujan, kan?” ucap Rosa secara tiba-tiba, memotong ucapan Roy. Kedua tangan Rosa menyatukan kedua tangan Roy lalu menggenggamnya.
“Aku tidak tahan melihatmu membuat ekspresi sedih itu. Aku tidak kuat menahan dinginnya senyum yang kau tunjukkan. Aku… tidak ingin kau merasa kesepian!” tegas Rosa dengan wajah serius.
Perasaan terpendamnya meluap tepat dihadapan Roy. Roy tidak tahu harus berekspresi dan berekspresi seperti apa. Hatinya menggeliat. Perasaannya campur aduk. Kepalanya kosong, tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk diucapkan.
“Apa kamu… serius? Tapi mungkin saja itu tidak akan berhasil.” sanggah Roy yang tidak ingin melibatkan Rosa.
“Aku juga butuh bantuanmu. Aku ingin kamu siap dan mau merasakan apa yang kurasakan. Aku pasti akan merubah perasaanmu, hingga aku tidak perlu melihat ekspresi sedihmu lagi.” tegas Rosa, mengisyaratkan Roy untuk bersiap untuk perubahan.
Air hujan yang jatuh ke bumi menimbulkan suara bising. Namun, hanya suasana sunyi yang mereka rasakan beberapa detik itu. Harum bunga mulai tergantikan dengan aroma tanah yang terbawa percikan hujan. Roy menutup matanya.
“Kalau begitu… Mulai sekarang, mohon bantuannya.” ucap Roy yang kemudian tersenyum. Sebuah senyum manis, hangat, ramah. Senyum baru yang pertama kali Rosa lihat.
Bersama hujan dan cokelat panas yang perlahan dingin, roda perubahan mulai berputar.
Penulis : Adithya Krisna W. Y.
Sumber Gambar : Pinterest