Surat untuk Indonesia
Untuk Ibu Pertiwi,
yang katanya tanah surga.
Apa kabar Ibu Pertiwi?
Kemarin lusa, aku berdialog dengan si Merpati.
Ia menunduk lesu mengamati bulu kesayangannya tak seputih dulu.
Sembari bercerita, “Ibu Pertiwi sedang bersedih hati. Pohonnya musnah ditebang, gunungnya lebur diratakan, sawahnya hilang ditelan pembangunan, lautnya mati kehilangan inti. Kail dan jala tak mampu menghidupi. Ini bukan tanah surga lagi. “Si Merpati mengepak sayap tinggi-tinggi, pergi.
Tapi aku tak kunjung sadar diri.
Apa kabar Ibu Pertiwi?
Kemarin, aku bertemu si Camar Pantai.
Kakinya hitam, sayapnya kelam. Katanya bekas berendam di lautan limbah dan mencari makan di gunungan sampah.
Sedu sedan ia mengadu padaku, “Ibu Pertiwi sedang merintih dan berdoa. Wajahnya tergores pecahan bangsa. Lehernya terbelenggu di akar pohon korupsi. Jantungnya terhujam tombak runcing hukum dan ketidakadilan. Tangannya terikat pada borgol-borgol kemiskinan. Kakinya dipasung kebodohan. Simpanan kekayaannya dikeruk paksa nyaris menyisakan bencana.” Sekuat tenaga si Camar Pantai merentangkan sayap, meninggalkanku.
Namun aku tak kunjung pulang.
Apa kabar Ibu Pertiwi?
Semalam, Garudamu menghampiriku.
Terbangnya tak seimbang, sayapnya terluka.
Pita Bhineka Tunggal Ika yang biasa ia cengkeram mulai terkoyak.
Manik matanya menikamku tajam.
Ditengah keheningan ia berbisik pelan, “ibumu, Ibu Pertiwi, sedang patah hati. Air matanya berlinang, menenggelamkan sebagian peradaban. Lambungnya memuntahkan lahar, meluruh lantahkan kehidupan. Nafasnya tersenggal asap bakaran hutan. Kemana saja kau?! Kau kan anak bangsa ini! Atau jangan-jangan kau hanya seonggok daging tanpa otak dan hati? Ibumu hampir mati tapi kau tak peduli!” Lihat Bu, Garudamu marah-marah padaku.
Wajahku pias, pucat pasi, Bu.
Maafkan aku, Bu. Maaf.
Aku tahu bahwasanya hatimu tetaplah patah dan aku selalu mencintaimu dengan segala patahan-patahannya.
Salam,
Putra Nusa Antara.
Nb: Tiga Terbaik Surat untuk Februari 2019