Hai fellows! Ini adalah kisah perjalanan singkat seorang gadis berasal dari desa yang tersandung-sandung mencoba memahami culture shock—atau bisa kalian bilang transisi kehidupan yang menurutnya cukup mengagetkan. Kehidupan sebelum ia menjejalkan kakinya di perkuliahan sangatlah sederhana dan tidak banyak drama. Bisa dibilang, kehidupan sosial yang ia miliki semasa SMA tidaklah sejahat yang ia terima pada saat kuliah. Dulunya, ia tidak peduli dengan belut yang hinggap di perutnya—dan oh! Tidak lupa jerawat yang muncul di dahi sesukanya. Maksudku, asalkan aku tidak obesitas dengan keberadaan belut lucu ini, batinnya selalu berbicara demikian ketika ada satu atau dua teman yang mengoloknya saat berganti baju bersama saat hendak pelajaran olahraga. Namun lihatlah semenjak masuk ke dunia kampus, kini gadis itu dibuat mereka—para sosial—pusing kelimpungan mencari cara bagaimana memusnahkan dua jerawat bandel di dahi dan sekitar bibirnya. Ini memalukan, menjijikan! batinnya terhina. Pokoknya sebegitu terhinanya ia akan eksistensi dua jerawat yang tidak berdosa itu.

Sepanjang malam ia akan memelototi layar handphone miliknya dengan jari yang sibuk berselancar mencari produk-produk yang cocok untuk membasmi apa yang ia anggap hama di wajahnya. Cukup hiperbola? Tentu tidak. Tulisan ini tidak melebih-lebihkan, melainkan sesuai dengan fakta dan realita apa yang ada. Jadi, ketika salah satu incaran ada di depan mata gadis itu, setan-setan yang berhuni di kamar kosannya akan berbisik heboh.

“Oh-ho! Tinggal dikit gratis ongkir nih, Bestie!” Bisik Setan—sebut saja Setan Satu. Bisikan itu tak ayal membuat si gadis menggigit bibir resah. Jarinya berkeringat. Jantungnya berpacu oleh adrenalin karena momen ini rasanya agak menegangkan. Satu saja langkah ceroboh, maka ia akan terperosot dalam kubangan yang bernama penyesalan. Dalam momen ini, ia hanya butuh satu dorongan lagi dari entah setan ke berapa agar ia bisa jatuh terjun bebas ke dalam jurang peruntungan.

Maka datang bak diundang, ialah bisikan Setan Dua.

“Coba tambah 2 sheetmask. Toh, manfaatnya juga memutihkan muka bulukmu itu, haha!”

Sebegitu mujarabnya bisikan tak berwujud terakhir tadi, yang mana berhasil menghempaskan segala keraguan Sang Gadis. Segenap raga, ia menjitak tombol tiap tombol hingga transaksi yang setara dengan uang-makan-3-minggunya itu raib, hanya dalam hitungan beberapa detik. Ya, kalian tidak salah membacanya. Semua itu memang berlangsung dalam hitungan detik.

Gadis itu tertawa lepas dan begitu puas. Benda pipih yang ia pegang sedari tadi nampaknya mengeluarkan bunyi notifikasi meneriakkan daya baterainya melemah, lantas ia pasang dengan charger yang bertengger manis di samping tempat tidurnya. Omong-omong, ketika gadis itu memasang pengisi baterai gadget miliknya, waktu menunjukkan pukul 1 pagi. Kebiasaan buruk mahasiswa saat ini dan sudah dianggap lumrah terjadi adalah bergadang sampai mati, betul?

Oh, tunggu sebentar. Mata gadis itu sedikit memicing untuk membaca salah satu pesan yang terselip dari pandangannya tadi. Rupanya ia mendapat pesan dari ibunya semenjak kemarin pagi. Namun, ia baru ingat belum membahasnya hingga saat ini.

“Nak, kapan pulang? Ada titipan sambel budhe.”

Betul, kapan terakhir kau pulang?

Gadis itu meringis, dalam artian miris pada dirinya sendiri. Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pulang. Ketika ia betul-betul memutar otaknya, ia cukup terkejut. Ternyata ia pulang 2 bulan lalu. Tempatnya mengenyam pendidikan kuliah dengan tempat tinggal keluarganya terbentang cukup jauh hingga naik kereta pun kau harus menempuh waktu setengah hari untuk sampai di kota asalnya. Jarak yang jauh juga memakan banyak biaya. Namun, ketika ia ingat uang yang ia habiskan 5 menit lalu setara dengan uang transportasi keberangkatan dan kepulangannya, lagi-lagi ia terjatuh dalam kubangan penyesalan. Namun, alasan itu tidak cukup. Tentu saja tindakan memalukan yang ia lakukan beberapa menit lalu tidak ia sampaikan pada ibunya. Hingga satu kalimat klise ia ketik pada papan tombol handphone.

“Bentar, Bu. Kuliahnya masih padet banget.”

Itu bukanlah sepenuhnya kebohongan.

Iya, kan?

Mahasiswa itu hanya sekedar pengangguran berkedok pendidikan.

Setelah itu ia menidurkan diri dan menatap atap dinding kamarnya yang berwarna putih kusam. Ini adalah rutinitasnya sebelum memeluk kegelapan dan mimpi. Apa yang mereka sebut?

Malam-malam overthinking.

Namun kali ini berbeda daripada malam-malam sebelumnya. Jika sebelumnya ia overthinking konsiprasi dimana naskah asli Supersemar atau bagaimana bisa Sergio meninggalkan si Marimar, kali ini ia merenungkan tentang beauty standard. Sebenarnya apa sih yang tengah ia kejar sekarang? Sekedar wajah mulus putih? Tubuh apa yang memenuhi kriteria body goals?

Lalu kalau ia sudah memenuhi semua itu, apa yang akan ia dapat? Apakah ini waktunya kita berbicara mengenai kekasih? Jadi, ketika gadis itu mendapat lelaki, maka lelaki itu hanya melihatnya dari kata cantik. Apakah semua itu sebanding dengan uang yang kau peras dari keringat orang tuamu? Padahal uang itu ditujukan padamu untuk makanmu. Orang tuamu membela mati-matian makan tahu-tempe-kangkung 1 bulan untukmu.

Tetapi, sebagai pembelaan, kini banyak pekerjaan yang membutuhkan penampilan menarik—dan tentu saja gadis itu juga mengamati banyak wanita cantik di kantoran dan kehidupan kampusnya yang mendapat perlakuan khusus. Mereka selalu menjadi pusat perhatian, dan menerima hal baik lebih banyak daripada muka yang diketageroikan pas-pasan. Bukankah ini adalah upaya investasi masa depan?

Iya, dengan menjual diri, kan?

Gadis itu jadi kembali menanyakan pada dirinya sendiri. Apa usahanya selama ini hanya bertujuan sebagai pusat perhatian?

Resolusi cemerlang yang datang tidak terhitung berapa banyaknya. Ia tidur dengan senyuman. Rasa kepercayaan diri bahwa ia akan berubah menjadi gadis si-paling-hemat dan si-paling-tidak-peduli-apa-itu-beautystandard esok hari terus menjulang. Sayangnya, resolusi-resolusi itu hanya berakhir pada bunga mimpinya. Keesokan hari, hingga hari-hari berikutnya ia tetaplah menjadi gadis naif dan dungu.

Tersenyum bodoh menunggu paket produk kecantikannya. Bertanya-tanya, kira-kira keajaiban macam apa yang akan diberikan produk kali ini pada wajahnya? Si gadis dungu, gadis dungu yang tidak tahu ketika ia tertawa dan memuji produk dibelinya, di belahan pulau lain ibunya bersimpuh meminta rejeki untuk anaknya.