Apa yang ada dalam pikiran kalian ketika mendengar tato? Biasa saja, keren, atau justru pemikiran negatif yang bermunculan? Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa tato hanya akan menempel pada tubuh pelaku kriminal dengan daftar riwayat hidup yang gelap. Dari mulai dianggap pembuat onar, berandal, preman, hingga tukang minum. Mereka yang merajah tubuhnya dengan tato masih meninggalkan stigma nakal di masyarakat. Meskipun tak jarang segelintir orang menganggap bahwa tato itu menarik. Pria bertato itu terlihat cool, macho, maskulin, dan beragam pujian lainnya. Sebenarnya, pendapat mana yang paling benar?
Saya menjadi salah satu dari orang kebanyakan. Menganggap para manusia bertato sebagai orang nakal yang harus dihindari. Sebuah cacahan yang terbentuk pada tubuh mampu menyetir pandangan saya ke arah waspada, dengan segala macam pemikiran buruk yang tumbuh subur di kepala. Mungkin saja termakan standar masyarakat dimana orang baik-baik selalu digambarkan dengan sifat religiusnya. Jiwa yang bersih juga ikut ditentukan oleh tubuh yang bebas dari tinta, “manusia bertato bukan orang baik, mereka pasti nakal,” putus saya final.
Sebelum ini, bahasan mengenai pribadi nakal pernah saya angkat sebagai bahan diskusi dengan salah satu kawan. Sedikit menguras emosi, seperti tidak ada jalur yang menghubungkan perbincangan kami dengan baik kala itu. Ternyata ada bagian yang tertinggal sebelum diskusi dimulai, yaitu penyamaan persepsi. Kriteria nakal antara kami jauh berbeda, wajar jika diskusi sebelumnya tidak menemukan titik temu, “selama dia tidak merusak orang lain, dia belum masuk kategori nakal,” ucapnya kala itu. Saya benar-benar terperangah mendengarnya, tak habis pikir kalimat itu keluar dari mulutnya. Karena dengan kata lain, menurutnya orang bertato, tukang tawur, preman, bahkan pemabuk, itu tidak nakal. Diskusi terus berlanjut dengan saya yang masih belum penuh menerima pendapatnya. Karena bagi saya, melanggar aturan agama seperti menato tubuh saja sudah saya cap nakal alias bukan orang baik-baik. Apalagi sampai mabuk-mabukan dan suka baku hantam.
Hingga suatu waktu, saya mendengar kabar adanya sebuah pertunjukan yang dilakoni oleh anak difabel. Mereka yang biasa dipandang sebelah mata dan diabaikan oleh lingkungan sekitar. Akhirnya, di beri ruang untuk berekspresi dan menunjukkan kemampuan yang selama ini sering diremehkan oleh khalayak umum. Hati saya terketuk. Siapapun orang yang merealisasikan acara ini, pasti memiliki sisi malaikat.
Pagi itu, saya meluncur ke tempat diselenggarakannya acara dengan salah seorang kawan. Dia adalah orang yang berhasil mengusik pikiran saya dengan statement pribadi nakal yang disampaikannya beberapa waktu lalu. Ya, saya masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya hingga saat itu. Tidak memakan waktu lama, lokasi acara sudah nampak di depan mata. Dari pinggir jalan dapat dilihat suasana mulai sedikit ramai karena acara memang dilaksanakan di ruang terbuka. Di halaman bangunan dempet tiga samping jalan besar. Saya mengawasi situasi di dalam dari celah-celah pagar besi yang catnya mulai sedikit mengelupas, sembari menunggu kawan memarkirkan motor di sekolah seberang jalan. Tak lebih dari lima menit, dia muncul dari gerbang sekolah, menyeberang jalan, dan mengajak masuk. Saya mengekor di belakang. Sebuah panggung kecil di sudut kanan pintu masuk mengalihkan pandangan saya. Sedang berlangsung pertunjukan dongeng dengan alat bantu wayang yang terbuat dari kertas dengan gambaran tangan di sana. Di samping kanan dan kiri panggung berdiri dua wanita yang tak henti menggerakkan tangannya sepanjang dongeng berlangsung. Kalian tau apa yang mereka lakukan? Kedua wanita tersebut sedang berusaha menerjemahkan alur cerita kepada mereka yang tidak bisa mendengar, melalui bahasa isyarat. Saya benar-benar dibuat takjub, ternyata masih ada orang-orang yang peduli. Manusia berhati malaikat itu ternyata belum sepenuhnya mati. Dari situ, mereka menegaskan bahwa semua orang berhak untuk mendengar, melihat, dan menikmati dongeng. Tak terkecuali dengan mereka yang memiliki keterbatasan.
Belum sempat mata ini menjelajah lebih jauh, kawan saya berseru menyuruh mengisi daftar hadir. Setelahnya, tanpa memperhatikan sekitar saya langsung menuju kursi pengunjung, duduk menikmati pertujukan yang disuguhkan. Bangku penonton dari kayu yang berjejer tak seberapa ini, hanya diisi oleh segelintir orang, tidak penuh. Tapi suasananya begitu menenangkan. Senyum kagum terbit di bibir saya, disana di deretan paling depan nampak tiga anak saling bertukar sapa, menarik perhatian saya. Mereka berbeda, bahasa yang mereka gunakan tidak sama dengan yang biasa saya temukan. Gerakan tangan yang diikutsertakan dalam perbincangan membuat saya mengangguk paham, mereka sedang mengaplikasikan bahasa isyarat. Hati ini tak henti-hentinya membisikkan rasa syukur. Lagi, saya benar mengapresiasi penuh pertunjukan ini.
Tak berselang lama, fokus saya terpecah saat tanpa sengaja mata ini menangkap sosok laki-laki berambut gimbal setengah punggung, maju ke depan membenarkan letak alat musik di sisi panggung. Kaus oblong dan celana jin belel yang melekat ditubuhnya semakin mengunci penglihatan saya, merasa sedikit terganggu sekaligus penasaran. Hingga pada akhirnya kepala saya tolehkan ke belakang, kepulan asap yang berasal dari mulut orang-orang yang duduk tak beraturan di deretan kursi terpisah jauh di samping langsung memenuhi penglihatan. Guratan tinta memenuhi tangan dan kaki sebagian dari mereka. Saya mencoba membaca keadaan, bagaimana bisa tempat ini dipenuhi orang-orang bertato seperti mereka. Siapa sebenarnya mereka? Orang iseng yang sedang mencari hiburan? Saya rasa tempat ini bukan tempat hiburan versi mereka. Lalu jika bukan pengunjung, mereka ini siapa? Pertanyaan yang berkecamuk di kepala saya belum juga terjawab. Sayapun memilih untuk kembali menikmati pertunjukan, sesekali menirukan gerakan tangan si peraga bahasa isyarat di depan. Hitung-hitung belajar.
Acara terus berlangsung dengan saya yang semakin gencar mengetukkan berbagai kalimat pujian dalam hati. Menjelang siang, beberapa pengunjung mulai beranjak meninggalkan tempat. Karena terlalu larut dalam kekaguman, saya jadi tidak sadar jika pengunjung di tempat itu hanya tersisa saya dan kawan saya. Kepala kembali saya edarkan, membantu mata menelisik setiap sudut tempat ini tanpa sisa. Sedikit tersentak, mereka para manusia bertato yang saya lihat di pertengahan acara masih ada di tempat itu. Saya baru mengetahui jika mereka yang badannya terajah tinta itu juga ikut andil membantu persiapan acara dari hasil berbincang dengan ketua panitia beberapa saat lalu.
Sempat meragukan kesaksian si ketua panitia, saya kembali memperhatikan para laki-laki berpenampilan sangar tadi dengan tatapan menilai. Tertunduk malu, menyadari orang yang saya puji sebelum bahkan selama acara berlangsung, adalah orang serupa dengan mereka yang saya curigai dengan beragam spekulasi buruk dalam kepala. Seolah semesta ikut menertawakan pemikiran sempit dari batok saya, beberapa dari mereka menghampiri kami dengan gerak cerah di wajahnya. Kami bertegur sapa santai, hal negatif yang saya khawatirkan tidak benar terjadi. Justru rasa nyaman yang perlahan mendominasi. Membuat saya ingin bertemu dengan mereka lagi.
Saya bersama kawan akhirnya pulang. Kejadian tadi membangkitkan kembali memori diskusi saya beberapa waktu lalu. Mungkin ini yang kawan saya maksud. Penampilan mereka yang menyeramkan karena dipandang sebagai hal yang identik dengan kriminal dan dekat dengan budaya pemberontak, ternyata dipeluk oleh hati malaikat. Dimana tak semua orang mampu melakukannya, bahkan mereka yang berpenampilan necis sekalipun. Sepertinya ruang main saya kurang jauh.
Mungkin bagi mereka yang religiositasnya tinggi dan melihat tato dari kacamata agama akan menghubungkannya sebagai perbuatan dosa atau bentuk penyangkalan terhadap ciptaan Tuhan, terlebih masyarakat sering berasumsi tato berhubungan erat dengan kriminalitas. Tidak salah memang, karena banyak sekali preman bertato, penyamun bertato, bandit bertato bahkan hal ini seolah dibenarkan oleh tayangan kriminalitas di televisi dimana polisi sering menunjukkan tato di tubuh pelaku. Tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar.
Pengalaman ini memperluas pandangan saya, penampilan urakan dengan raut sangar tidak selalu sejalan dengan jiwa yang gulita. Cesare Lombroso dalam bukunya yang berjudul Criminal Man mengatakan, “Stigma menghambat perkembangan pengenalan terhadap seseorang karena rasa takut untuk bersentuhan diawetkan dan diperbesar.” Jika selamanya kita tak mau besentuhan dan mengenal mereka yang dicap buruk oleh sekitar, sampai matipun kita tidak akan pernah mendapat kebenarannya.