Judul : Bumi Manusia
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Halaman : 535
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : ke-17, Januari 2011
Buku pertama dari tetralogi pulau buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini mengambil latar tempat di Wonokromo, Surabaya dan beberapa tempat di Pulau Jawa dengan latar waktu awal abad ke-20, memuat keadaan sosial pada saat itu dengan segala permasalahan yang ada. Alur ceritanya sangat menarik untuk di ikuti, keadaan masyarakat pada masa pemerintahan Hindia Belanda ia gambarkan dengan begitu detail. Berbagai permasalahan Pram tuliskan dengan jelas hampir tanpa cela. Ia mengisahkan bagaimana Minke (baca: Mingke) seorang pribumi yang merupakan salah satu anak bupati, sehingga Minke dapat sekolah di H.B.S (Hogere Burger School) sekolah khusus totok (orang belanda asli), indo (campuran), dan pribumi dengan jabatan yang tinggi. Pram menggambarkan karakter Minke sebagai siswa cerdas di sekolahnya, berpengetahuan luas, mempelajari sastra serta kemampuannya membaca dan menulis bahasa belanda sangat baik bahkan lebih baik dibandingkan totok.
Kisah ini bermula ketika Minke diajak teman sekolahnya, Robert Suurhof, menuju Wonokromo untuk berkunjung ke salah satu rumah belanda dengan papan Boerderij Buitenzorg (Perusahaan Pertanian) kediaman keluarga Mellema. Rumah yang mengenalkan Minke pada kakak beradik Robert Mellema kawan Suurhof dan Annelies Mellema, gadis indo yang kecantikannya oleh Pram digambarkan setara kecantikan Sri Ratu. Saat itu pula Minke mengenal Nyai Ontosoroh pengendali seluruh perusahaan pertanian besar yang tak lain tak bukan adalah ibu dari Robert dan Annelies. Kedatangannya disambut hangat oleh Nyai Ontosoroh dan Annelies, begitu pula Minke sangat mengagumi Nyai Ontosoroh karena kepandaiannya bertutur kata, pengetahuan budaya dan kecakapannya sebanding dengan wanita Eropa terpelajar. Sosok Nyai sangat menakjubkan bagi Minke karena selain pandai ia juga merupakan sosok ibu yang baik juga pekerja keras. Nyai memimpin rumahnya sendiri, karena Herman Mellema jarang pulang, Nyai Ontosoroh mempertahankan bisnisnya dengan cara-cara eropa.
Semenjak Minke pulang, meninggalkan kediaman keluarga Mellema, Ia terbayang-bayang Annelies, gadis yang sudah menjadi pujaan hatinya. Minke juga terngiang tawaran Nyai Ontosoroh untuk sering berkunjung bahkan tinggal di rumah mereka. Tak berselang lama Minke mendapat surat dari Wonokromo, meminta Minke untuk berkunjung karena Annelies sedang merindukannya. Minke dibuat bimbang dengan pilihan untuk berkunjung mengobati rasa rindunya dan pendapat umum tentang keluarga Nyai Ontosoroh. Nyai merupakan istilah untuk gundik (wanita simpanan orang belanda). Minke memutuskan untuk menetap dan mengabaikan pendapat umum terhadap Nyai Ontosoroh yang dianggap buruk oleh masyarakat sekitar.
Pram menceritakan dengan rinci bagaimana masa lalu Nyai Ontosoroh yang memiliki nama asli Sanikem dijadikan korban keserakahan jabatan oleh ayahnya. Sanikem dijual kepada Tuan Administratur berkulit putih, tuan Herman Mellema. Terhalang dengan adat jawa, bagaimana seorang anak harus patuh kepada orang tua atas segala keputusan yang dibuat. Pram juga menggambarkan bagaimana dulu gender masih dipermasalahkan. Terbukti pada saat Ibunda Sanikem yang tidak dapat berbuat apapun ketika anak kesayangannya dijual oleh suaminya sendiri.
Pada novel Bumi Manusia, Pram mengisahkan kejadian dengan sangat apik bagaimana kebudayaan belanda begitu masyhur, sangat diagungkan. Sementara kebudayaan jawa masih sangat kental dengan sembah sujudnya, batasan berpendapat bagi pemuda karena harus patuh terhadap orang tua.
“Sungguh, teman-teman sekolah akan menertawakan aku. Sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam ?” (hal. 181, Minke)
Digambarkan pula adegan sentimentil antara Minke seorang pelajar dan memiliki ilmu pengetahuan seperti orang Eropa, dihadapkan dengan Ayahandanya seorang Bupati yang masih menggenggam teguh adat jawa dan memiliki perbedaan cara berpikir yang sangat bertolak belakang.
Ayahanda Minke merasa malu, dan tak lagi menganggap Minke sebagai anaknya. Ia masih tidak bisa menerima Minke, seorang yang terpelajar bersekolah di H.B.S tinggal dirumah gundik. Tak hanya Ayahandanya, pihak sekolah pun setelah mendengar kabar tersebut dan membuat Minke di keluarkan dari sekolah. Namun, berkat kepandaiannya menulis, Minke menuangkan pendapatnya dalam sebuah tulisan yang akhirnya dimuat di media dan membawa Minke kembali bersekolah.
Minke juga menikahi Annelies secara islam untuk menepis pandangan umum ketika ia tinggal di rumah Nyai Ontosoroh. Meskipun wali dari pihak Minke hanya Ibundanya yang masih mengakui Minke sebagai anak. Namun, masalah sebenarnya baru dimulai ketika anak sah Herman Mellema di Nederland, Maurits Mellema, datang meminta harta dan kekayaan ayahnya. Hal ini membuat Herman Mellema kalang kabut, frustasi dan melampiaskan pada minuman keras dirumah pelesiran Ah Tjong hingga ajal menjemputnya.
Tidak adanya tali perkawinan yang sah antara Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh menjadikan seluruh harta, kekayaan, dan hak asuh Annelies yang masih dibawah umur jatuh ke tangan Maurits Mellema. Sistem pengadilan saat itu tidak memberikan kesempatan pribumi membela diri. Sehingga Annelies harus dibawa Maurits ke Belanda. Pram mengisahkan bagaimana pergolakan batin yang dialami Annelies ketika harus terpisah dari ibu kandung dan suaminya. Begitu pula penyesalan Nyai Ontosoroh dan Minke meski sudah berusaha mati-matian mempertahankan Annelies, tergambar dengan sangat jelas ketidakberdayaan pribumi, tunduk pada hukum dan kekuasaan Eropa. Novel Bumi Manusia menggambarkan kejamnya penjajahan, hukum buatan manusia yang semena-mena serta lunturnya nilai kemanusiaan yang menyentuh sampai hingga ke dasar hati.
“Kita kalah, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (hal. 535, Nyai Ontosoroh). []