Kiri Hijau Kanan Merah merupakan Film Dokumenter Karya Watchdoc Dokumentary yang di garap oleh Dandhy Laksono dan kawan-kawan untuk memperingati 10 tahun Watchdoc sekaligus hari HAM internasional pada tahun 2019. Film dokumenter ini merupakan karya advokasi pertama Watchdoc yang berdiri pada 2009 dan di rilis ulang serta di publikasikan pada tanggal 09 Desember 2019.
Film yang berdurasi 48 menit ini menceritakan sisi lain dibalik sosok aktivis HAM internasional yaitu Munir Said Thalib atau yang kerap disapa Munir. Dalam film ini diceritakan pertumbuhan sosok Munir kecil di Kota Batu, Malang bersama keluarganya. Pandangan orang-orang yang pernah bersama dengannya saat mengenyam pendidikan, perjuangannya menciptakan Komite Solidaritas untuk Marsinah (KASUM), kiprahnya dalam mengusut kasus penculikan pada tahun 1998 yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) serta sejarah lengsernya rezim Soeharto pada saat itu. Hingga cerita akhir hidupnya yang masih menjadi teka-teki sampai saat ini.
Film ini memiliki latar belakang dan alur yang sangat menarik untuk dinikmati. Beberapa narasumber mulai dari orang terdekat, guru sekolah, teman seperjuangan saat menjadi aktivis, rekannya saat membentuk KontraS, kesaksian orang yang bertemu terakhir sebelum kematian misterius Munir serta beberapa narasumber lain dihadirkan dalam film ini.
Sosok Munir semasa sekolah dikenal sebagai pelajar yang biasa-biasa saja oleh gurunya, namun kelihaiannya dalam berdiskusi membuatnya berbeda dari temannya yang lain. Sisi humanisnya juga mulai terlihat saat dirinya menginjak sekolah menengah atas. Kebiasaan Munir dalam berdiskusi dan mendalami hukum tata negara mulai tampak saat dirinya mengemban bangku perkuliahan. Bahkan, Munir remaja saat itu bisa mengadakan seminar pro Palestina pertama di Indonesia. Dirinya juga mendapat penghargaan Right Livelihood Award (Hadiah Nobel Alternatif) di Swedia. Munir juga sering diminta untuk mengisi kelas di Staff Komando (SESKO) TNI dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Disana, munir memperjuangkan hak-hak kesejahteraan bagi anggota TNI dan Polri. Munir juga sempat mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 Hukum Humaniter Internasional di Belanda. Keberangkatannya ke Belanda ini sekaligus menjadi kepulangan dari seorang Munir untuk selama-lamanya.
Kelebihan dari film ini terlihat dari pengambilan setiap potret dan kisah yang sangat menggambarkan sosok seorang Munir mulai dari dirinya kecil hingga dewasa. Kehidupan keluarga dan perjuangannya ketika menjadi aktivis, serta detik-detik ketika Munir menyambut kematiannya. Sederhana namun dapat menggambarkan sosok seorang Munir dengan utuh. Sisi pengambilan gambar dan lagu yang digunakan juga begitu pas, membuat film ini seakan menyihir kita masuk kedalam kehidupan seorang Munir yang nyata. Pengambilan gambar lama yang jarang kita ketahui menjadi daya tarik tersendiri dari film ini. Seperti menonton fim tahun 90an, hal itulah yang memperkuat kesan dan rasa yang ada dalam film ini.
Untuk kekurangannya sendiri, sebenarnya film ini sudah sangat baik dan bagus dari berbagai sisi. Mulai dari alur, jalan cerita, hingga tokoh-tokoh yang terlibat dalam film tersebut. Namun, durasi dari film ini terlalu cepat. Menurut pandangan penulis, film sebagus ini sangat sayang jika hanya berdurasi kurang dari 1 jam. Film yang menginspirasi ini sangat perlu untuk ditonton oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan. Dari film ini, kita dibawa untuk mengenal bagaimana perjuangan dan penegakan Hak Asasi Manusia itu perlu di pertahankan dan diperjuangkan.
Dari film ini kita dapat belajar bagaimana kehidupan seorang Munir. Perjuangannya, pengorbanannya, semangatnya, serta jiwa kemanusiaannnya yang melekat dan mampu menciptakan gairah untuk selalu menegakkan keadilan dan menolong orang-orang kecil. []
Penulis: Akhmad Labib B.Z.
Ilustrator: Alvina N.A