“Lautan ikan, maritim rebut kembali”
Penulis kagum dengan pernyataan Cak Lontong saat stand up comedy di acara Mata Najwa beberapa tahun lalu. Sekilas, pernyataan gamblang tersebut hanyalah materi untuk “lucu-lucuan”. Tapi andaikan kita menaikkan level literasi kita, pernyataan tersebut adalah autokritik yang sangat keras dari komika senior tersebut. Menindaklanjuti pernyataan Cak Lontong tersebut, sebenarnya apa yang perlu direbut dari maritim? Atau lebih jelasnya, apakah kondisi maritim Indonesia baik-baik saja dibandingkan dengan sumber daya alam lain? Secara konteks harfiah, kata rebut identik dengan ada yang “hilang” atau lebih apesnya ada yang “mencuri”.
Baik. Sebelum membahas secara detail apa saja yang hilang dari maritim kita, penulis ingin menyinggung sedikit mengeneai tidak dilanjutkannya periode kedua Susi Pujiastuti di Kementerin Kelautan dan Perikanan. Kembali ke konteks “ada yang hilang”, menurut penulis alasan mendasar Jokowi menunjuk Edhy Prabowo sebagai suksesornya Susi Pujiastuti di KKP, berarti Jokowi menganggap Susi telah lengah dalam menjaga kelautan Indonesia, kemudian ada “sesuatu yang hilang”.
Padahal banyak pihak yang mengagung-agungkan Susi sebagai salah satu Menteri yang sukses. Sebagai bukti, berdasarkan survei yang dilakukan Alvara Research Center menunjukkan, tingkat kepuasan tertinggi kinerja menteri diraih oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti 91,95 %. Di posisi dua dan tiga ditempati Basuki Hadimuljono menteri PUPR dan Sri Mulyani Menteri Keuangan . Susi dianggap sebagai menteri dengan kepemimpinannya yang tegas dan berani. Apalagi kalau urusan illegal fishing, dengan sistem penenggelaman kapal menjadi program yang banyak diapresiasi.
Bagi Presiden, Susi belum cukup syarat untuk dilanjutkan masa kerjanya di periode kedua. Sekali lagi, apa yang sebenarnya yang hilang dari laut kita? Sehingga menteri dengan kepuasaan masyarakat tertinggi bisa didepak? Permasalahan inilah yang penulis ingin bahas dalam rangka peringatan Hari Maritim Nasional, 21 Agustus 2020.
Dengan 62 % dari luas wilayah Indonesia, tentu kekayaan sumber daya alam sektor laut, menjadi lumbung penghasilan banyak orang, terutama nelayan. Berbagai macam metode penangkapan ikan semakin hari semakin canggih. Penulis masih ingat betul waktu masih kecil, para nelayan dekat rumah menggunakan cara tradisonal dengan mengayuh perahu kecil tanpa mesin. Sekarang, begitu banyak alat modern yang semakin marak digunakan.
Karena sebagai pokok penghasilan banyak orang, pemerintah menerbitkan undang-undang terkait pencarian ikan. Kemudian, apakah kebijakan atau UU yang dibuat pro terhadap nelayan kecil? Sebagai contoh katakanlah penangkapan ikan menggunakan cantrang yang semenjak menteri Susi Pudjiastuti dilarang, secara gamblang sangat baik bagi ekosistem laut. Tapi perlu digaris bawahi, banyak nelayan kecil yang memprotes agar cantrang diberlakukan kembali. Dengan sigap menteri edhy mengubah aturan tersebut menerima tuntutan nelayan. Prinsipnya sederhana: nelayan kecil harus hidup.
Terlepas lebih bijak mana antara Susi Pudjiastuti ataupun Edhy Prabowo, penulis ingin mengkritisi aturan-aturan karet yang diterbitkan kementerian tersebut. Sederhanamya begini, dalam konteks analisis sosial yang melibatkan nasib banyak orang, haruslah ada proyeksi kebijakan dalam kurun waktu yang kontinyu. Penulis sampai saat ini belum menemukan teknis apakah izin cantrang ada periode tahunnya, ataukah ini hanya gimik semata dari Edhy ketika dihadapkan dengan banyaknya protes massa. Jika tidak ada proyeksi tahun yang jelas, penulis cemas andaikan tahun depan atau bahkan bulan depan ada aksi protes dari aktivis lingkungan agar mencabut izin cantrang, Edhy dengan tekanan langsung mengabulkan protes tersebut. Jika demikian, sungguh aturan di dalam tubuh kementerian ini seperti diobral.
Sidang pembaca yang terhormat! Penulis memandang, salah satu hal lagi yang hilang dari maritim kita adalah wisata pantai. Jika ada suatu pertanyaan sederhana pantai mana yang bagus untuk dibuat rekreasi? Jawabannya pasti monoton sekitar Bali dan Lombok. Benar, mobilisasi turis saat ini masih memdominasi Bali dan Lombok. I Nyoman Giri, Bupati Badung menyampaikan kunjungan wisatawan rata-rata mencapai 3.9 juta pertahun.
Masalah besar, pemerintah seakan-akan masih belum bisa lepas dengan hegemoni mobilisasi wisatawan terutama turis yang masih mendominasi Bali dan Lombok sebagai destinasi wisata. Andaikan pemerintah melakukan ekspansi ke luar Jawa, katakanlah promosi pantai-pantai yang ada di Raja Ampat Papua, justru sektor devisa negara akan meningkat. Penulis pastikan masih banyak selain pantai di Bali dan Lombok yang kualitas pantainya lebih bagus.
Sekali lagi, pemerintah masih dalam belenggu hegemoni mobilitas. Dalam teori ekspansi Adolf Hitler “Sekarang makan apa, besok makan dimana, lusa makan siapa”. Hitler mengajarkan tentang arti penting progresifitas kemajuan. Bagi penulis, pemeritah Indonesia saat ini masih nyaman dalam konteks “Sekarang makan apa”. Tak pernah memproyeksikan progres “Besok makan dimana” dan “lusa makan siapa”.
Tabik.