Liburan semester sebentar lagi akan tiba, saya dan teman-teman sudah membuat rencana pendakian di Gunung Ijen, Banyuwangi. Gunung Ijen merupakan Gunung yang terdapat kawah serta adanya belerang di puncaknya. Keberadaannya sudah terkenal di kalangan wisatawan lokal maupun mancanegara, selain itu terdapat juga Blue Fire yang merupakan salah satu dari dua yang ada di dunia.

Malam itu teman-teman mulai mempersiapkan peralatan untuk pendakian di Gunung Ijen. Mulai dari jaket, baju, masker, senter, mantel, obat pribadi, dan peralatan lainnya. Terdapat 10 orang yang berangkat menuju Kawah Ijen, terdiri empat perempuan dan enam laki-laki. Berangkat dari rumah teman di Bondowoso menuju Kawah Ijen yang berada di antara perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso dengan menempuh jarak sekitar 68 kilomometer. Tak luput sebelum berangkat rombongan mengheningkan doa kepada Tuhan, memohon keselamatan mulai dari keberangkatan hingga pulang nanti.

Perjalanan dengan mengendarai sepeda motor dan membutuhkan waktu sekitar dua jam. Pergi menuju Gunung Ijen mulai pukul 22.00 WIB, sepanjang perjalanan mata terpesona dengan Kota Bondowoso yang sunyi, bersih, dan tampak tata kota yang rapi serta maju. Perjalanan mulai terasa beda ketika memasuki daerah Gunung Ijen, hawa dingin mulai menusuk tubuh dan menyentuh tulang rusuk. Paham bahwa posisi sedang mengendarai sepeda motor serta membonceng perempuan, maka tak ada kompromi dengan hawa dingin yang menusuk. Otot betis di kaki mati rasa dan beku, dada gemetaran karena harus melawan angin yang dingin seakan membelah dada. Hanya bagian tangan dan akal pikiran yang tidak boleh kalah dari dinginnya angin.

Jalan pun tampak gelap karena melewati hutan di daerah sekitar Gunung Ijen. Diri ini sudah tidak sabar untuk segera sampai ditempat tujuan. Suasana mulai terasa hangat, ketika sudah melewati hutan dan sampai di daerah pemukiman warga. Tampak deret rumah kayu minimalis dicat putih di seberang kiri dan kanan jalan. Sempat terbayang bagaimana kehidupan warga setempat di daerah Gunung Ijen yang penuh ketenangan, ketenteraman serta kebahagiaan. Berbeda dengan kehidupan di kota yang penat dan penuh dengan masalah. Sesudah melewati pemukiman, mulai memasuki daerah hutan lagi dan melawan arus angin yang dingin. Kemudian melewati beberapa pos hingga akhirnya sampai di tempat pendakian Gunung Ijen pada pukul 00.30 WIB.

Kami memutuskan beristirahat sejenak di seberang warung sebelum melakukan pendakian. Memesan susu hangat sambil menuangkan air panas di segelas bungkus pop mie, serta sebagian laki-laki menghisap rokok kretek dan menembuskannya, merupakan suatu kehangatan tersendiri di tengah hawa dingin yang menyerang.

Istirahat selesai dan badan sudah mulai terasa membaik, kini waktunya mulai pendakian. Pendakian dimulai sekitar pukul 02.00 WIB, awalnya sebelum berangkat teman-teman ingin melihat Blue Fire yang ada pada Kawah Ijen. Namun karena Blue Fire hanya ada sampai pukul 04.00 WIB, sepertinya tidak mungkin untuk dapat melihat Blue Fire. Selain itu sepanjang pendakian juga beberapa kali istirahat, sehingga sampai di Kawah Ijen sekitar pukul 04.30 WIB. Selama perjalanan menuju Kawah Ijen, suasana cukup ramai karena banyak wisatawan dari dalam negeri maupun wisatawan dari mancanegara. Tak luput juga penambang belerang mulai melakukan aktivitasnya, serta ojek khas di Gunung Ijen yang dapat mengantarkan wisatawan dengan menggunakan troli.

Sesampai di sekitar puncak Kawah Ijen, kami istirahat di antara bebatuan besar sehingga terlindungi dari angin yang kencang. Kaki ini saya selonjorkan, kemudian saya makan perbekalan berupa roti sobek. Sesudah itu saya hendak sholat subuh namun bingung untuk menentukan arah kiblat. Saya memandang bintang di langit untuk membaca rasi bintang dan ternyata semua bintang tampak jelas. Jika biasanya saya bisa menentukan arah barat, timur, selatan, dan utara hanya dengan melihat rasi bintang, namun saat ini saya tidak bisa membaca arah mata angin karena seluruh bintang tampak jelas, sulit untuk menentukan posisi Rasi Bintang Crux yang menunjukkan arah selatan.

Akhirnya saya sholat dengan menyesuaikan kondisi di lingkungan sekitar. Kemudian saya melihat ada bule laki-laki berbadan agak gemuk, menggunakan kaos bewarna abu-abu, celana pendek dan topi gunung mendekati seorang penambang belerang. Penambang belerang tersebut menggunakan kaos biru agak kusut, serta celana ¾. Bule tersebut kemudian berkata kepada penambang belerang, “Excuse me, where is the spot that i can see the sunrises ?”(permisi, dimana tempat saya bisa melihat matahari terbit?) Penambang belerang tersebut menjawab, “go left up the hill, there will be sunrise, just wait maybe around 30 minutes” (pergi ke bukit sebelah kiri, di sana akan ada matahari terbit, silahkan tunggu sekitar 30 menit). Bule tersebut kemudian berkata lagi, “pardon me again, what is it ? (maaf, apa ini?)(sambil memegang bongkahan kecil belerang) ?” “It is called belerang, you can take it if you want “ (Ini namanya belerang, kamu bisa mengambilnya jika mau). Jawab penambang belerang. “Thank you so much.”(Terima Kasih banyak), Bule tersebut berterima kasih dan segera pergi menuju tempat sunrises.

Saya yang mengamatinya secara langsung, kagum terhadap kecakapan penambang belerang tersebut. Meskipun berpenampilan kusut dan tampak seperti pria berusia 40 keatas, namun beliau dapat fasih bercakap Bahasa Inggris dengan bule. Hal tersebut membuat saya paham bahwa tingkat tingginya ilmu seseorang tidak dilihat dari penampilan dan profesinya. Ada orang berpenampilan sederhana tetapi wawasan atau ilmunya luas. Sebaliknya ada juga orang yang berpenampilan layaknya akademisi dan sudah merasa pintar tetapi tidak ada manfaatnya bagi orang lain.

Setelah beristirahat sejenak, saya dan teman-teman pergi ke tempat sunrises untuk menikmati keindahan matahari terbit dan pemandangan alamnya di sekitar kawah ijen. Kami menaiki posisi dataran yang tinggi, menikmati pemandangan kawah ijen yang indah dari atas, serta mengabadikan momen tersebut dengan mengambil gambar atau foto. Saya rasakan betapa tenteram dan tenangnya suasana di Gunung Ijen. Tampak pegunungan indah di sekitar kami, angin yang begitu lembut berembus serta sinar matahari yang hangat.

Setelah saya dan teman-teman menikmati keindahan kawah ijen, sekitar pukul 07.00 WIB kami hendak turun menuju tempat awal pendakian. Selama perjalanan turun, kami beberapa kali berhenti untuk istirahat. Ada momen di mana saat saya istirahat sendiri, tiba-tiba datang penambang belerang berusia sekitar 25 tahun, hendak menawari karya pahatan belerang kepada saya. Ternyata penambang belerang tersebut mengalami keterbatasan fisik, dia menawarkan karya pahatan belerang tersebut dengan bahasa isyarat. Saya yang waktu itu kebingungan serta tidak paham bahasa isyarat, berusaha sebisa mungkin memberikan isyarat bahwa saya tidak berminat untuk membeli. Selain itu saya juga tidak mengetahui berapa harga karya pahatan tersebut, belum lagi uang saya nampak hanya cukup untuk biaya pulang nanti.

Saya pun menolak tawaran penjual tersebut dengan bahasa isyarat seadanya, namun sepertinya ada kesalahpahaman. Penjual tersebut memahami bahasa isyarat saya sebagai pertanda keinginan untuk membeli, saya berusaha meluruskannya lagi dengan bahasa isyarat dan akhirnya si penambang paham bahwa saya tidak berminat untuk membeli. Akhirnya si penambang meninggalkan saya dengan perasaan jengkel, tampak pada raut wajahnya yang memandang dengan penuh emosi.

Sesudah itu saya lanjutkan perjalanan menuju tempat awal, kemudian saya berpapasan dengan sekelompok bule yang sedang mendengarkan penjelasan dari pemandu turis. Pemandu turis tersebut berkata kepada bule,”Sulfur miners earn 1200 rupiah per kilogram of sulfur” (belerang dihargai 1200 rupiah setiap kilogramnya). Setelah mendengarkan pemandu turis tersebut, saya langsung kaget seakan tidak percaya. Bagaimana mungkin belerang yang didapatkan dari ketinggian 2400 meter di atas gunung, hanya dihargai serendah itu ? memang menurut perhitungan kalau penambang belerang bisa mengangkut 200 kilo gram per hari, dia dapat memperoleh uang sebesar Rp. 240.000 tetapi uang sebanyak itu masih dipotong untuk kebutuhan makan, minum, kesehatan dan operasional lainnya.

Sejak itu saya paham bahwa para penambang mendapatkan penghasilan tambahan dari berjualan belerang pahatan. Saya merasa berdosa dan bersalah, ternyata selama ini saya adalah orang yang egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Penambang belerang yang saya temui adalah penambang yang punya keterbatasan fisik, tetapi gigih dalam mencari penghasilan. Sedangkan saya seorang mahasiswa yang egois dan tidak tahu diri. Sepanjang perjalanan pulang saya mengalami pertentangan batin, seakan tak percaya betapa egoisnya saya ini. Muncul juga perasaan benci dan kesal terhadap diri sendiri. Apa guna sekolah hingga perguruan tinggi tetapi tidak peduli terhadap orang lain dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Mental orang seperti inilah mental orang yang serakah danegois.

Pengalaman mendaki di Gunung Ijen menimbulkan kesan yang melekat di batin saya. Pemuda penambang belerang tersebut seakan malaikat yang datang kemudian menghunuskan pedang ke dalam hati saya sambil berkata, “Lihatlah hatimu ini, hitam pekat penuh dengan keserakahan dan keegoisan, tak ada gunanya kau hidup!”

Sejak saat itu saya paham bahwa saya masih belum menjadi orang baik. Saya harus bisa membunuh sifat egois ini dan berusaha menjadi orang yang peka serta peduli terhadap lingkungan sekitar.[]