Pertengahan semester tujuh ini saya isi dengan Kuliah Kerja Magang. Saya dan anggota kelompok magang telah diterima magang di sebuah perusahaan BUMN yaitu PT Perkebunan Negara XII yang terletak di Doesoen Kakao, Kendenglembu, Karangharjo, Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tempat magang ini sudah terkenal mengenai pengolahan coklatnya dan sebagai tempat wisata edukasi mengenai buah kakao.

Pada hari pertama saya magang, tepatnya pada hari kamis tanggal 20 Oktober 2022 saya melakukan kegiatan rutin yaitu apel pagi bersama dengan pekerja juga dengan mahasiswa lain yang melakukan magang di tempat tersebut. Saya berangkat pada pukul 05.15 WIB dan saya sampai di tempat pada pukul 05. 30 WIB. Pada acara apel saya tidak luput untuk melakukan doa bersama agar kegiatan magang saya hari itu berjalan dengan baik dan lancar.

Kegiatan selanjutnya yaitu pada pukul 06.45 WIB setelah melakukan apel pagi saya melanjutkan kegiatan magang dengan pergi ke kebun untuk menemui salah satu mandor yang bertugas di lapangan yang bernama bapak Bambang selaku mandor pertanian. Perjalanan saya lalui dengan mengendarai sepeda montor dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dengan melalui medan yang terjal yang banyak lumpur di setiap jalannya. Pada pukul 07.00 WIB saya telah sampai di tempat lokasi bersama bapak mandor yang bertugas.

Kami seluruh tim magang bersama mandor yang bertugas langsung ikut terjun untuk pengambilan buah kakao yang berada di perkebunan Kadenglembu. Pada awalnya kami merasa bahwa medan yang dilalui sangatlah berat dengan ditambah dengan suasana medan setelah hujan makin memperparah kami untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pada pukul 07.30 WIB, kemudian saya melihat para buruh yang mengumpulkan biji buah kakao di kebun. Pada saat itu mata saya tertuju pada sebuah pasangan yang sangatlah sepuh yang duduk setelah mengumpulkan bauh kakao untuk diambil bijinya, pasangan buruh tersebut menggunakan kaos berlengan panjang dikarenakan banyaknya nyamuk di sekitar kebun. Saya pun berkata kepada buruh tersebut dengan menggunakan bahasa Madura.

“Pean deri demmah, Buk?”

Agaknya ibu tersebut tidak mendengar dibuktikan dengan tidak adanya respon bahkan sekedar lirikan. Maklum, wanita itu nampak telah berumur sehingga saya perlu mengeraskan suara saat bertanya ulang.

“Engkok asli pager gunung cong,” jawab beliau.

Aku pun bertanya kembali, “Embuk olehnah berempah?”

“Mulai gellek engkok gun olehnah sekunik bek tang lakeh.”

Percakapan kami berlanjut tidak lama sebelum saya memutuskan untuk kembali ke dalam kelompok. Di situ saya juga mengobrol dengan mandor lapang.

“Bapak, apakah buruh buah kakao ini banyak yang telah berumur?”

Mandor tersebut langsung menjawab, “Iya, Mas. Kebanyakan orang yang bekerja mengambil buah kakao di sini memiliki usia di atas 50 tahunan.”

Percakapan berlanjut dengan pertanyaan seputar berapa upah perkilo yang dihasilkan oleh para buruh, yang mana beliau tidak sungkan menjawab, “Untuk penghasilan yang diperoleh para buruh tidaklah banyak, Mas. Untuk perkilo yang dihasilkan dengan dikurangi rendemen kakao nantinya kisaran 700 rupiah hingga 1000 rupiah saja.”

Batin saya, hal itu sangatlah miris. Para buruh harus bekerja mulai pukul 05.00 WIB hingga 10.00 WIB namun hanya mendapatkan kurang dari 10.000 rupiah perhari, sedangkan untuk mendapatkan buah kakao mereka harus menempuh medan penuh lumpur dan diserang gigitan nyamuk yang bisa membuat mereka terkena resiko demam berdarah. Fakta yang baru saja saya telan pahit ini membuka mata ini menjadi lebih lebar. Mereka adalah orang – orang yang sangat tangguh tanpa melihat sedikitpun rasa kelelahan mereka.

Setelah pukul 10.00 WIB saya bersama kelompok saya membantu mandor untuk menimbang setiap hasil yang didapatkan oleh buruh kakao hari ini. Pada saat perhitungan yang didapatkan minimal buruh mendapatkan 4 kilo dengan perolehan buruh maksimal sekitar 12 kilo, saya bertanya kembali kepada bapak mandor mengenai penghasilan mereka.

“Bapak, untuk perhitungan ini berapa banyak biasanya mereka peroleh?”

“Untuk sebulan meraka hanya mendapatkan sekitar 150.000 ribu hingga 500.000 ribu saja, Mas,” jawab beliau.

“Apakah uang segitu cukup untuk mereka ya, Pak?”

Bapak mandor kembali menjawab, “Ya bagaimana lagi, Mas. Hanya segitu yang kami bisa berikan juga tidak ada lagi pekerjaan tambahan untuk mereka sehingga dapat menambah penghasilan mereka.”

Egois.

Bukan. Kata sifat itu bukan ditujukkan kepada si Bapak Mandor, melainkan diri ini. Sejak percakapan itu, gejolak perasaan hina melumuri diri ini mengingat saya masih sering merasa kurang cukup dan mengeluhkan uang pemberian orang tua yang padahal kenyataannya terbilang berkecukupan. Sangat tidak sebanding, apabila disandingkan dengan mereka yang berprofesi menjadi buruh kakao di sini hanya dapat menghasilkan sedikit uang untuk dapat memberikan makan keluarga mereka, namun mereka masih sangatlah gigih untuk mendapatkan nafkah dari kerja keras mereka.

Perjalanan pulang kali ini tidak seorang diri, melainkan dipeluk erat oleh rasa sakit di ulu hati. Status mahasiswa rasanya tidak punya arti jika rasa egois yang sangat tinggi ini tidak mati. Ada menit-menit dimana muncul rasa benci dan rasa gagal dikarenakan saya telah kehilangan rasa syukur di kehidupan saya selama ini. Padahal, fasilitas yang telah keluarga saya berikan selalu berkecukupan. Lantas, apa sih yang saya sebetulnya keluhkan selama ini? Apakah ini hanya tentang saya yang masuk ke dalam orang-orang serakah di dunia ini?

Penulis : Aditya Akbar Pramudita