JEMBER, Manifest – PERMAPPA (Persatuan Mahasiswa Dan Pelajar Papua) se Jawa Timur meminta Pemerintah Republik Indonesia segera menyelenggarakan Referendum di Papua sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua untuk menentukan nasib sendiri. Permintaan disampaikan oleh PERMAPPA Kota Studi Jember melalui seruan aksi yang dilakukan pada Rabu (28/08) pukul 16.00 di Bundaran DPRD dan Universitas Jember (UJ). Mereka juga meminta Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), segera meninjau pelanggaran HAM dan meminta untuk adanya perlindungan kepada seluruh rakyat Papua di West Papua. Serta jaminan keselamatan, kenyamanan dan keamanan bagi pelajar dan mahasiswa Papua di seluruh wilayah Indonesia.
Mereka mengecam keras tindakkan represif dan pengepungan yang dilakukan pihak kepolisian, TNI, dan Ormas reaksioner binaan terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. “Selama ini mahasiswa Papua yang ada di pulau Jawa dan Bali sering mengalami rasisme,” kata Hamjek Kogoya, Rabu (28/8) kemarin. Selaku Koordinator Aksi PERMAPPA Kota Studi Jember pihaknya merasa prihatin terhadap teman-temannya yang mendapat tindakan tersebut baik dari masyarakat, aparat maupun pemerintah.
Mohamad Jazuli selaku Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Alumni yang ikut menghadiri aksi tersebut mengatakan bahwa keberadaannya adalah untuk melayani dan melindungi adik-adik. “Kita sebenarnya mencoba bagaimana meminimalisir ini gak terlalu beresiko,” ujarnya. Aksi damai yang dihadiri belasan mahasiswa Papua ini merupakan bentuk tindakan follow up dari tindakan represi yang dilakukan kepada mahasiswa Papua di beberapa kota di Indonesia.
Dilansir dari tirto.id, Jumat (16/08) sekelompok personel TNI menggedor gerbang asrama. Penyebabnya karena mereka melihat ada bendera Merah Putih yang dipasang pemerintah Kota Surabaya jatuh ke selokan. Secara bertahap Satpol PP dan ormas berdatangan dan mengepung asrama itu selama 24 jam. Bermacam makian bernada rasisme diteriakkan sambil sesekali melempari batu ke arah asrama Papua. Personel Brigade Mobil melancarkan 23 kali tembakan gas air mata ke asrama mahasiswa Papua.
Esoknya, 43 mahasiswa Papua yang ditangkap itu dibebaskan oleh polisi karena tidak memiliki bukti kuat atas kasus penghinaan terhadap lambang negara. Buntut dari aksi tersebut adalah warga Manokwari memblokade jalan dan membakar Gedung DPRD sebagai aksi balasan terhadap pengepungan mahasiswa Papua di Surabaya pada Senin (19/08) di Manokwari, Provinsi Papua Barat. Selain di Manokwari, ratusan orang turun ke jalan untuk melakukan longmarch dari berbagai kawasan di sekitar Waena, Abepura, dan Kotaraja menuju Kantor Gubernur Papua yang berada di Dok 2 Jayapura (19/08).
Diskriminasi Ras dan Etnis telah diatur Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 yang masih berlaku hingga saat ini. Pada Pasal 15 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp I00.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Sementara itu pada pasal 16 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” []