Sidang perdana atas gugatan terhadap Surat Keputusan (SK) Rektor Univesitas Sumatera Utara  (USU) Nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019 tentang pemecatan 18 Anggota SUARA USU akan dilaksanakan pada Rabu (14/08). Sidang akan dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Sumatera Utara dengan agenda sidang berupa pembacaan berkas.

Sejak keluarnya SK Rektor USU tersebut pada Senin (25/03), SUARA USU terus melakukan upaya agar SK tersebut dapat dicabut.  Demo telah diupayakan oleh SUARA USU pada hari Kamis (28/03) dengan titik kumpul sekretariat SUARA USU kemudian keliling kampus dan berakhir di Biro Rektor. Selain itu, dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RPD) di DPRD Sumatera Utara dengan agenda pertama pada hari Jumat (17/05) dan agenda RPD kedua pada hari Sabtu (22/06). Upaya juga dilakukan melalui surat audiensi kepada Rektor USU dan surat yang ditujukan pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman RI. Namun dari semua surat yang telah diberikan belum ada tanggapan berupa tindakan lanjut yang lebih.

Ketika upaya yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil, SUARA USU memilih untuk menempuh jalur hukum. Pada hari Jumat (05/07), Pemimpin Umum SUARA USU Yael Stefani, Pemimpin Redaksi SUARA USU Widiya Hastuti dibarengi oleh Perhimpunan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) memutuskan untuk mengajukan gugatan ke PTUN.  Pengajuan gugatan ini ditempuh guna mengembalikan SK Kepengurusan SUARA USU Periode 2019 yang dicabut karena SK Rektor USU.

Usai pengajuan gugatan, SUARA USU beberapa kali mengalami intimidasi dari pihak kampus. Hal itu terbukti dengan pemanggilan orang tua Widiya Astuti oleh Kepala Jurusan Ilmu Sejarah dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya untuk hadir ke USU. Selain itu, Dosen meminta Widiya Astuti selaku Pemimpin Redaksi SUARA USU menarik gugatan dengan alasan membahayakan suku Gayo yang ada di USU.

Selain itu, terjadi pembongkaran sekretariat SUARA USU oleh pihak rektorat kampus pada hari Senin (22/07). Rektorat beralasan pembongkaran ini dilakukan guna renovasi. Namun sayangnya pembongkaran dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kemudian pada pintu suara USU ditempel tulisan “Dilarang masuk gedung ini sedang renovasi, pasal 551.” Meskipun tidak seluruh ruangan berhasil dibongkar, namun sebagian besar atap telah pecah hingga tidak dapat digunakan ketika hujan.

Seluruh tindakan yang dilakukan oleh rektorat pada SUARA USU merupakan pelanggaran hak-hak anggota SUARA USU sebagai mahasiswa dan pers mahasiswa.

Kebebasan pers

SUARA USU adalah pers mahasiswa yang melakukan kerja-kerja pers yang harusnya diberikan kebebasan dalam menyampaikan informasi. Sementara pembongkaran terhadap ruang redaksi telah membatasi kebebasan pers SUARA USU.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi

Rektor USU tidak memberi ruang bagi anggota SUARA USU untuk menyampaikan pendapatnya mengenai suatu hal di kampus dalam kasus ini pendapat tentang tindakan tidak diskriminasi terhadap kelompok minoritas yaitu LGBT.

Kebebasan berkumpul dan berserikat

Sekretariat SUARA USU adalah tempat anggota SUARA USU berkumpul dan membentuk organisasi. Pembongkaran terhadap sekretariat berarti membubarkan orang-orang dan organisasi yang ada di dalamnya.

Selain itu, bentuk tidak menghargai hak asasi manusia bagi minoritas LGBT juga ditunjukkan melalui sikap Rektorat yang tidak memberikan ruang bagi mereka yang ingin menyampaikan pendapat mengenai setuju atau tidak setuju terhadap LGBT.

Pemimpin Umum Pers Mahasiswa SUARA USU mengatakan akan terus mempertahankan sekretariat dan melawan kebijakan rektor USU  yang membunuh kreativitas anggota Pers Mahasiswa SUARA USU. “Kami akan perjuangkan hingga SK kami kembali melalui PTUN,” ujarnya. []