Fenomena demonstrasi menjadi sebuah hal yang melekat pada mahasiswa. Hal ini merupakan sebuah bentuk konstuksi kultural mahasiswa yang dimana hal ini merupakan sebuah perjuangan panjang dari tahun ke tahun mahasiswa dalam mengawal penyelenggaraan negara Indonesia. Pada prosesnya memang, peran mahasiswa tidak dapat dipungkiri menjadi poros perjuangan perubahan yang terjadi di Indonesia, seperti kita lihat pada era transisi orde baru ke era reformasi, bahwa mahasiswa mempunyai peranan penting dalam meruntuhkan rezim Soeharto kala itu. Maka, tidah heran jika kini mahasiswa diberi label sebagai agent of change dan agent of control. Mahasiswa sebagai suatu eksistensi yang dapat diharapkan dapat menjadi suatu agen yang   daapt selalu hadir pada keadaan paceklik yang dialami oleh masyarakat Indonesia melalui Toa-Toa di atas mobil pickup L300. Bak tokoh superhero marvel yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran musuh-musuh yang jahat.. Hal-hal inilah yang menjadi awal penyebab mahasiswa menjelma menjadi sosok yang superior di tengah masyarakat dengan jas almetnya. ada begitu banyak hal yang ironi dibalik perjungan demonstrasi mahasiswa dewasa ini, terkhususnya fenomena penggunaan almamater.

Fenomena ini sungguh membuat muak. Demikian hal ini dikarenakan ketika mahasiswa menggunakan almamater atau bahkan identitasnya sebagai bagian dari suatu kelompok politik mahasiswa, substansi dari demonstrasi menjadi berubah. Penulis mengatakan demikian bukan tanpa dasar, telah banyak hal ini ramai diperbincangakn orang-orang mengenai penggunaan almamater oleh mahasiswa, khususnya di media sosial Instagram, banyak yang geram dengan tindakan mahasiswa ini. Jas almamater yang digunakan mahasiswa menjadi suatu identitas diri yang elit dan eksklusif, demikian dikarenakan, mahasiswa akhirnya membentuk suatu border atau garisnya sendiri. Pada akhirnya, gerakan tersebut mengakibatkan menjadi suatu gerakan yang elit dan ekslusif yang hanya dapat dihadiri oleh mahasiswa ber-almet saja. Padahal, substansinya kalian (mahasiswa) ini mewakili rakyat. Elemen rakyat itu ada banyak, ada petani, penjual, pelajar, guru, buruh, dan sebagainya. Apa mereka punya almet universitas? oh tentu tidak!. Seharusnya, kalian harus melebur ke elemen masyarakat tersebut, ada petani dengan keresahannya yang ingin bergabung, ada pelajar yang ikut geram dengan kondisi negara, ada ibu-ibu penjual nasi bungkus yang ingin berbagi semangat dan banyak elemen masyarakat yang marah dengan institusi negara ini.

Tapi, kalian malah memberikan klaim bahwa orang-orang yang tidak menggunakan jas almamater universitas bukan bagian dari golongan kalian. Lantas, kalian ini demo untuk mewakili siapa? golongan kalian sendiri? kepentingan kalian? atau bahkan kepentingan organisasi yang kalian ikuti itu?. Seperti contoh, yang dikutip pada akun Instagram @aliansisantaiii dan @rakyatberontak Pada aksi peringatan darurat dan kawal putusan MK yang terjadi pada bulan Agustus hingga kini, bahwa terdapat BEM salah satu kampus tidak menerima kehadiran kawan-kawan yang tidak menggunakan almamater pada aksi demonstrasi di DPRD Kota Sukabumi. Selain itu, banyak juga seperti gerakan Aliansi Pelajar di beberapa daerah yang tidak dapat bergabung ke dalam massa aksi dikarenakan masih pelajar dan tidak menggunakan almamater. Masih banyak kejadian-kejadian lain yang menunjukan eksklusivitas mahasiswa. Meskipun tidak keseluruhan, tapi sangat disayangkan bahwa hal-hal ini masih banyak terjadi di beberapa daerah pada saat aksi.

Mayoritas, mahasiswa melakukan penolakan kepada orang-orang yang tidak memakai almamater universitas dengan alasan karena menghindari tuduhan provokator yang mengarah kepada mereka dan ingin melindungi golongan mahasiswa supaya tidak mendapatkan tindakan represi dari pihak keamanan karena menggunakan almet. Lantas jika demikian, apa kalian (mahasiswa) hanya diam saja ketika terdapat orang-orang yang tidak menggunakan almet mendapatkan represi dari aparat? atau kenapa kalian sebegitu takutnya dengan kagaduhan saat aksi. Bukankah memang seharusnya aksi demonstrasi itu dilakukan dengan gaduh dan riuh? dengan semangat perlawanan yang menggebu-gebu layaknya dulu saat masa transisi orde baru ke reformasi. Bukankah memang demikian, agar suara rakyat tersampaikan, apa guna aksi damai dan hanya penandatanganan surat penyataan oleh wakil rakyat? apa itu menjamin jika kalian ‘menang’. Jawabannya adalah tidak, jawabannya adalah kekuasaan masih sewenang-wenang dan tidak ada perubahan yang signifikan, dan kalian (mahasiswa) akan selalu menjadi sosok yang elit-eksklusif intelektual di tengah masyarakat, tentu, tidak mewakili rakyat, tetapi hanya demi kepentingan kalian saja, kemarahan rakyat seakan-akan dijadikan ajang untuk pembuktian eksistensi kalian menjadi aktivis.

Akhir kata, bersatulah semua elemen rakyat, bersatulah mahasiswa, pelajar, petani, buruh, pedagang dan semuanya. Hancurkan ruang-ruang dominasi, meleburlah, hancurkan eksklusivitas kalian, rebutlah hak-hak kalian, menangkan revolusi kalian!.

Penulis: Krisdian Tata Syamwalid

Sumber gambar: Aktual.com (Pinterest)

(Karya di atas adalah karya terbaik untuk kategori Opini pada Open Karya LPM Manifest 2024)