Judul : Wadon Ora Didol
Jenis Film : Dokumenter
Sutradara : Edy Purwanto
Durasi Film : 41.09 menit
Produser : Annisa Inayah, Nafilah Safitri
Produksi : Pamflet Generasi, Watchdoc
Tanggal Rilis : 23 Juli 2022
Isu perempuan bertajuk pernikahan dini yang marak terjadi di Indonesia saat ini diangkat pada film “Wadon Ora Didol”. Film dokumenter ini dibuka dengan scene yang memperlihatkan seorang remaja perempuan bersama keluarganya meminta permohonan pernikahan usia dini. Meskipun telah tertuang dalam Undang-Undang bahwa usia minimal menikah untuk perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, nyatanya masih banyak permohonan dispensasi kepada pengadilan agama untuk pernikahan di bawah umur. Berbagai alasan yang diajukan oleh pemohon membuat hukum terasa lemah untuk ditegakkan.
Film ini mengangkat peristiwa yang terjadi di Indramayu dengan angka permohonan dispensasi mencapai 625 pada tahun 2021. Banyak remaja putus sekolah yang terpaksa menikah sebelum usia 19 tahun karena sudah melakukan hubungan layaknya suami istri saat pacaran. Pembicaraan yang dilakukan dengan seorang wartawan, Dedi Suwidiantoro, memberikan informasi mengenai adanya pernikahan di bawah umur pada jaman dahulu. “Kawin Gantung”, istilah yang diberikan pada peristiwa dimana para orang tua menganggap anak sebagai aset dan akan menjodohkan anaknya dengan orang kaya atau menyuruh anaknya bekerja. Tradisi ini menyebabkan pandangan bahwa anak perempuan dianggap sebagai aset yang digunakan untuk mengangkat hidup orang tuanya. Kasus “Kawin Gantung” dialami oleh salah satu narasumber yaitu Rasminah (37th), pertama kali menikah pada usia 13 tahun. Rasminah menikah sebanyak 4 kali dan mempunyai 6 anak. Menurutnya, menikah usia muda ialah sebuah kegagalan. Ia berharap kepada pemerintah untuk melarang pernikahan usia dini.
Sejak November 2019, terdapat perubahan minimum usia pernikahan untuk perempuan dari 17 tahun menjadi 19 tahun karena adanya kesetaraan gender. Dari situlah terjadi dispensasi nikah untuk anak yang menikah di bawah umur. Menurut ketua pengadilan Indramayu, beberapa factor terjadinya pernikahan dini adalah hubunagan yang sangat dekat dan orang tua khawatir, hamil duluan, dan 100% yang mengajukan dispensasi menikah adalah anak yang putus sekolah. Pernikahan usia muda akan menciptakan pernikahan yang gagal, entah karena mental yang belum siap atau finansial yang kurang mencukupi. Perceraian ini menyebabkan banyak perempuan terjun ke dalam dunia malam, prostirusi, dan menjadi TKW.
Pada film ini dijelaskan bahwa daerah Indramayu, Cilengeng, merupakan kawasan prostitusi dimana terdapat banyak tempat prostitusi yang berasal dari rumah warga menggunakan bagian belakang rumah. Beberapa pekerja juga masih berusia di bawah umur. Prostitusi ini juga dilakukan secara online melalui aplikasi yang terhubung dengan muncikari. Salah satu pekerja tersebut mengaku bahwa pada awalnya ia dijodohkan dengan keluarga kaya. Namun, pernikahan tersebut tidak berjalan lancar. Sempat menjadi TKW, pekerja ini kembali ke Indonesia dan memutuskan menjadi pekerja seks karena tuntutan keluarga dan untuk mencukupi kebutuhan anaknya. Selain itu terdapat pula pekerja seks yang mengaku bahwa orang tuanya mengetahui pekerjaan yang dilakukan anaknya. Pandangan masyarakat tentang para pekerja ini sudah sangat buruk. Namun, pekerja tersebut tetap melakukan pekerjaan tersebut dengan alasan keluarga.
Salah satu sejarah yang diceritakan pada film ini yaitu pada tahun 2003, Yayasan Kusuma Bongas memiliki proyek pencegahan pelacuran anak. Yayasan ini berawal dari kelompok Yayasan Kusuma Buana yang memiliki program mengenai penanggulangan HIV di lokalisasi Keramat Tunggang pada tahun 1993. Pada akhir film dokumenter ini, dinarasikan beberapa upaya dari berbagai pihak dalam mengedukasi masyarakat dan remaja di Indramayu terkait pernikahan dini.
Kelebihan dari film ini adalah menghadirkan narasumber/korban yang mengalami kejadian tersebut secara langsung, sehingga para penonton dapat mengetahui mirisnya tradisi kehidupan remaja yang hingga saat ini masih berlangsung di Indramayu. Selain itu, film ini memiliki pesan moral yang sangat dalam dan edukatif, khususnya bagi generasi muda agar tidak salah dalam mengambil keputusan terkait pergaulan dan pernikahan. Pesan yang tersirat dapat meningkatkan rasa waspada para penonton terlebih terhadap lingkungan di sekitar. Sedangkan kekurangan yang didapatkan pada film ini yaitu cara pengambilan gambar yang kurang jelas sehingga dapat membuat penonton jenuh.
***
Penulis : Diva Permata Alfarisqa dan Jilan Hanifa