Aksi Kamisan September Hitam: Refleksi Sejarah Kelam dan Harapan Untuk Perjuangan yang Berkelanjutan
Aksi kamisan Jember dalam rangka peringatan september hitam dilakukan di Bundaran DPRD Kabupaten Jember pada Kamis (19/09/24). Dalam aksi ini, kelompok masa yang tergabung diajak merefleksikan dan menyerukan sejarah kelam mengenai pelanggaran HAM berat di Indonesia yang hingga kini masih belum menemukan titik terang.
Aksi kamisan ini bertujuan untuk memberikan kesadaran bagi siapapun yang datang, mengembalikan ingatan terkait sejarah apa yang telah dilewatkan, dan mengedukasi masyarakat sekitar bahwa negara telah melakukan kekejaman yang sampai sekarang tidak pernah diselesaikan.
Aksi ini mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengingat rentetan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Pembunuhan Munir yang merupakan aktivis HAM, Pembunuhan Pendeta Yeremia Papua yang menuntut keadilan, Pembunuhan Salim Kancil yang merupakan Aktivis lingkungan, Tragedi pembantaian tanjung Priok 1984 danTragedi semanggi II. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan catatan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara dan hingga kini belum diusut tuntas.
“Oleh sebab itu kita disini untuk mengingatkan warga sipil bahwa negara dapat membunuh kita semua,” ucap Dimas selaku orator pertama pada Aksi Kamisan Jember. Selain orasi, upaya yang dilakukan untuk menarik atensi masyarakat adalah dengan menyusun dan mengangkat kertas bertuliskan “Negara Membunuh”.
Syahrin, selaku ketua Lembaga Penelitian Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember menyampaikan, “Tragedi 1965 menjadi titik kita berangkat untuk melihat pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh negara, tragedi 1965 menjadi awal pembunuhan yang sangat mengakar dan itu sangat berlawanan atau membalikkan proses revolusi yang ingin diciptakan oleh Indonesia.”
Sebelumnya, Indonesia memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan dan persatuan yang digaungkan kemegahannya. Akan tetapi, propaganda politik yg terjadi pada tahun 1965 menyebabkan pembunuhan massal Partai Komunis Indonesia (PKI) karena di klaim secara sepihak oleh militer bahwa PKI adalah pelaku utama. Adanya pembunuhan akibat propaganda tersebut, menyebabkan gerakan tani dan gerakan mahasiswa mengalami kebuntuan.
“Makanya hari ini kita selalu terprovokasi isu, mahasiswa nggak lagi disatuin dengan isu besar bersama yang akan melahirkan gerakan-gerakan besar, tapi kita selalu terpecah-pecah, salah satunya ya karena tahun 1965 kita memang sudah membunuh semuanya, membunuh orang-orang yang cerdas orang-orang yang revolusioner dan itu membuat kita menjadi lupa soal sejarah dan dinamika yang terjadi makanya gerakan mahasiswa nggak tahu harus kemana karena kita sudah kehilangan imajinasi sejarah kita sudah lupa apa yang terjadi di tahun 1965 dan seberapa besar gerakan rakyat yang termasuk juga kaum tani yang progresif itu dibunuh dan dihabisi,” tegas Syahrin Ketua Lembaga Penelitian FH UNEJ.
Para peserta Aksi Kamisan meyakini bahwa tidak ada perjuangan yang mudah. Namun, banyak cara bisa dilakukan, termasuk bersuara melalui aksi, riset dan penelitian, atau turun langsung ke lokasi konflik. Hal-hal seperti ini mungkin tidak membuat kita merasa lebih pintar, tetapi kita dapat belajar bersama rakyat dan melihat langsung perjuangan mereka sebagai sesuatu yang tidak kita dapatkan di bangku perkuliahan. Pengalaman-pengalaman seperti ini akan memantik kesadaran untuk bersikap kritis terhadap keadaan dan menggerakkan aksi perlawanan.
Penulis: Yenda Aulia
Fotografer: Diva Duatri
Editor: Jilan Hanifa