Suradi (69) sudah memulung sejak pertama kali TPA Pakusari diresmikan (Dok. Almas/2023)

Suradi (69) Pemulung senior yang masih semangat mengumpulkan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pakusari, Jember. Sembari beristirahat dan menghisap rokoknya, Suradi menceritakan awal mula ia memulung di TPA ini. “Senin, 1 Januari tahun 1992 pertama kali truk sampah tiba di sini, saya yang pertama (memulung),” kenangnya bangga. Pada tahun itulah Suradi mulai memulung karena belum ada pemulung di daerah tersebut sebelumnya.

Laki-laki berusia lebih dari separuh abad itu mulai memulung dari pagi hingga sekitar pukul 5 sore. Setiap harinya ia dapat mengantongi lebih 40 hingga 50 ribu rupiah setiap harinya bergantung pada jenis dan jumlah sampah yang didapat. “Kalau gelas plastik seragam laku 2.500 per kilo, kardus 1.000 per kilo,” ungkapnya. Penghasilan tersebutlah yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Suradi memulung ditemani dengan istrinya, ia menceritakan bahwa anaknya ada yang bekerja di luar kota dan ada juga yang bekerja sebagai sopir truk di TPA Pakusari. “anak saya juga ada yang di sini, jadi sopir truk dia,” ucap Suradi.

Selain Suradi, banyak pemulung lainnya yang juga memulung di TPA Pakusari. Mayoritas pemulung tersebut adalah perempuan paruh baya yang selalu siap ketika truk sampah datang ke gunungan sampah TPA Pakusari. Tiap kali truk sampah menurunkan sampahnya, tangan-tangan cekatan bersenjatakan pengais besi dengan cepat memilah sampah mana yang dapat ditukar menjadi uang.

Sampah-sampah tersebut kemudian diletakkan dalam karung dan keranjang anyam bambu. Sortiran sampah itu kemudian disimpan dalam gubuk mereka masing-masing. Saat pemulung-pemulung itu pulang, sampah-sampah yang sudah terkumpul akan mereka angkut dan kemudian ditukarkan dengan uang. Siklus itulah yang dilewati para pemulung TPA Pakusari setiap harinya.

Seusai adzan Zuhur, sebagian besar pemulung terlihat mulai melipir menghampiri gubuk-gubuk. Berhenti sejenak dari pekerjaannya dan berteduh di gubuk mereka masing-masing. Ada yang sekedar menghisap rokok, ada pula yang menyantap bekal yang dibawa dari rumah. Tidak mewah, hanya nasi dengan tempe goreng, cabai rawit, beserta sayurnya.

Beban Tanggung Jawab di Pundak Pekerja Lapang

Di lain sisi, terlihat beberapa sopir dan operator excavator yang hidupnya bergantung pada TPA Pakusari. Orang-orang inilah bertugas untuk menyisihkan sisa sampah yang tidak dipungut pemulung. Mereka juga bertugas untuk mengoperasikan truk tangki penyiram sampah. Salah satu sopir bercerita bahwa minggu (6/8/2023) sempat terbakar, “pemadam kebakaran saja hampir tidak sanggup, apinya tidak terlihat, yang terbakar berada di dalam gunungan sampah.” Mereka menjelaskan bahwa penyiraman berkala ini untuk mencegah kebakaran pada hamparan sampah TPA Pakusari. Mereka bekerja di bawah naungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Jember.

Paradigma pengelolaan sampah di TPA Pakusari adalah kumpul-angkut-buang, tanpa pemilahan. Timbunan sampah yang mengandung sampah organik ini akan terurai secara anaerob dan menyebabkan timbulnya gas bio atau Land Fill Gas (LFG) yang didominasi oleh gas metana (CH4). Sampah-sampah tersebut menghasilkan gas metana ini rentan mengalami kebakaran.

“Yang kemarin itu jam 9 pagi baru padam jam 4 sore, total ada dua pemadam tiga sama truk ini,” jelas salah satu sopir truk penyiram sampah. Mereka tidak mengetahui pasti pantikan awal kebakaran, dugaan mereka bisa berasal dari panas matahari atau ada yang membuang puntung rokok sembarangan. “Ya kalau kebakaran yang disalahin ya kita, yang di lapangan”, imbuhnya.

Untuk mengantisipasi terulangnya kebakaran landfill, TPA Pakusari mengerahkan sekitar 20.000 liter air disiramkan setiap harinya. Air tersebut berasal dari sumur yang digali dan juga memanfaatkan pengolahan air lindi dari TPA Pakusari. “Ini pakai tangki 5000 liter, biasanya dari pagi sampai sore. Kadang sampai malam juga,” tutur sang operator.

Paradoks Tempat Pembuangan Akhir

Melihat kembali gunungan sampah di TPA Pakusari, terekam jelas beragam sisa makanan seperti sisa seafood, cangkang telur, sayuran dan sampah organik lainnya. Sampah-sampah tersebut bercampur dengan sampah anorganik seperti plastik, kaleng, dan styrofoam. Mirisnya, ruang publik yang berada Kabupaten Jember sudah disediakan tempat sampah yang berbeda antara sampah organik dan anorganik, namun pada saat eksekusi pengangkutan sampah menuju TPA tetap tidak dibedakan. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap pemilahan sampah organik dan anorganik secara mandiri masih sangat minim.

Padahal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, mengatur sedemikian rupa mengenai pengurangan dan penanganan sampah khususnya untuk limbah dari rumah tangga. Terlepas bagaimana penerapannya, satu hal yang luput dan penting untuk dilakukan oleh pemerintah adalah memaksa tanggung jawab produsen. Produsen bertanggung jawab atas kemasan yang digunakan untuk mengemas produk mereka.

Selama ini pemerintah yang menanggung pengelolaan sampah yang dihasilkan oleh produsen tersebut.  Harusnya sampah yang tidak mudah terurai dan tidak bisa didaur ulang dikembalikan kembali ke produsennya melalui kewajiban EPR (extended produsen responsibility) yang akan mendorong produsen mengganti kemasannnya dengan kemasan yang mudah terurai atau bisa didaur ulang. Adanya EPR tersebut produsen dipaksa membuat kemasan produk yang ramah lingkungan atau yang memiliki siklus daur hidup sangat panjang.

 

Foto Bercerita: Kemas Almas M.
Editor: Tim Redaksi