Apa arti keluarga yang sebenarnya? Yang memelukmu ketika rindu? Atau yang memegangmu ketika terjatuh?

Keluarga menjadi satu-satunya tempat kembali ketika semua orang menginginkanmu pergi. Lantas kemana harus kembali kalau mereka pun pergi? Sejauh apapun pencapaianmu tak kan berarti tanpa adanya hati yang rela mengulur diri untuk menemani. Sepi. Hanya rasa itu yang akan menyelimuti.
*
Bunga kamboja mulai berguguran ditiup angin. Wanginya semerbak menghibur. Dulu aku senang bermain-main dibawahnya. Berlomba mencari kelopak berkelipatan empat. Tapi sekarang aku benci. Ia malah gugur bersama dengan bahagiaku yang luntur. Tidak ada rasa bahagia mengelilingi tempat ini. Membuatku semakin sadar bahwa sekarang aku di tempat yang paling menyedihkan.

Bunga itu terjatuh di atas tanah yang masih basah. Tanah itu semakin menguruk dirinya. Raganya semakin tenggelam dan terkurung di dalamnya. Tapi aku tidak bisa apa-apa. Kau yang biasa tersenyum ceria, kini malah berbaring tanpa jiwa. Aku harap kau bahagia. Pergi dengan banyak wasiat pahit yang tetap hidup. Aku tidak apa-apa asal kau cukup bahagia. Biar aku menuntaskan kewajibanku mengirimimu doa seperti yang selalu kau minta.
*
Ramai sekali dirumahku. Penuh mulut ke mulut dengan kata-kata kasar yang kerap aku dengar. Menggunjing untuk bersilatuhmi? Entahlah apa itu namanya. Aku tidak peduli dan tidak mau peduli. Aku hanya menatap wajah wanita itu. Wanita paling berarti di hidupku. Ditengah keramaian ini, dia malah menatap kosong lurus tanpa melihat keadaan.

“Ibu, ayo ke kamar saja,” aku memapahnya ke kamar. Dia menurut tapi tetap saja dia hanya mengikuti gerakanku tanpa peduli dengan apa yang ia lakukan. Dia tidak menangis. Mungkin air matanya sudah habis. Mata sembabnya menandakan semua tanpa perlu bicara.

“Dek, kamu keluar gih. Banyak tamu. Kakak harus kembali ke belakang mengurus tahlilan nanti malam,” kakakku berkata. Aku hanya menggangguk dan berjalan ke ruang tamu. Menerima ucapan belasungkawa. Tapi tak sedikit dari mereka malah setelah bersalaman pergi dengan kata-kata kasar. Sangat tidak sopan masuk ke telinga orang.
Apa mereka tidak pernah punya masalah. Apa mereka tidak percaya karma. Apa kejadian yang menimpa keluargaku adalah karma. Entahlah. Semakin aku menebak, semakin aku berpikiran tidak-tidak.
*
Setelah hari ketujuh, aku pikir kehidupanku akan kembali semula. Ternyata banyak yang berubah. Terutama pandangan orang-orang kepada keluargaku. Ibuku tetap saja diam menatap kosong sekitar. Dia seakan tidak mau meneruskan hidupnya. Kadang juga menatapku aneh. Aku tidak tau apa yang ia pikirkan. Aku tidak tau bagaimana rasanya ditinggal teman hidupnya. Dan rasanya aku juga tidak mau tau tentang rasa membingungkan tersebut. Dia tiba-tiba menangis lalu terdiam dalam tatapan kosong seolah tenggelam dalam halusinasi.

Waktu tetap setia berdetik. Seolah tidak terjadi apa-apa. Namun bagiku detik itu semakin lama. Menimbulkan banyak luka setiap harinya. Ibuku yang sebelumnya hanya melamun kini tiba-tiba mengamuk, menangis dan marah-marah menghancurkan barang di rumah. Bahkan, ibu sering memukulku secara tidak sadar. Banyak tetangga yang melihat hal itu. Mereka berdatangan. Awalnya aku kira simpati namun ternyata ambisi mencari sensasi. Bisik-bisik setelah berputar melangkahkan kaki terdengar jelas ditelinga.

Kakakku juga merasakan rasa serupa. Hanya saja sama. Dia hanya membuatkan semakin lelah dengan ucapan yang tak beda. Curahan rasa yang mementingkan ego. Berkali-kali kakak memukul ibu yang sedang mengamuk. Memang berhasil. Ibu sadar dan menangis setelah itu. Memelukku yang meringkuk dipojok kamarnya.
Aku bingung. Apa sebegitu sakitnya ditinggal oleh pasangan hidupnya. Sampai seperti hidup hanya sebatas pagar runcing di depan mata. Tidak bisa mundur atau maju untuk melewati.
*
Sore itu, banyak orang yang datang ke rumah, termasuk petinggi desa. Kakakku yang kini menjadi kepala keluarga di rumah menjadi pemegang keputusan segalanya. Mereka menuju kamar ibu. Mereka membawa ibu keluar. Tentu saja ibu tidak mau dan aku pun menahan mereka. Keadaan berbeda dan berjalan sebaliknya. Kakakku malah berusaha melepaskan ibu dari tanganku. Dia menahanku untuk memeluk ibu.

“Semua perjanjian telah disepakati. Demi kebaikan semuanya, tolong berikan jalan untuk kami bertindak!” kalimat yang selalu diulang oleh orang-orang munafik itu. Mereka berkata seakan mereka paling benar dan aku sebagai orang bodoh yang mempercayainya. Aku kecewa dengan orang yang katanya paling bijaksana itu. Terlebih kepada orang yang paling ku percaya. Ya, kakakku sendiri. Mengapa ia malah membiarkan tangan asing itu mengikat jalan surganya?

Kini, aku mengetahui kenyataan mengenai imajinasi di buku cerita. Bagaimana korban yang nyata berubah menjadi tersangka dan orang bersalah menjadi dewa yang dipuja-puja. Tentang aturan di desa ini. Demi menjaga status kredibilitas desa, para pemegang kuasa malah berkonspirasi menghilangkan rakyatnya. Mereka memasung siapa saja yang mempertaruhkan nama desa. Semua penduduk tau, aturan yang mengeksploitasi hak bicara hanya akan menjadi debu dikemudian harinya. Hingga di ujung ceritanya pasti membungkam pendapat mereka.

Kebijakan biadab itu berjalan secara turun-temurun. Orang yang terpilih pun seperti disumpah untuk melakukan aturan amoral tersebut. Berjalan dengan mengangkat dagu dan menegakkan bahu setinggi-tingginya. Menginjak kebebasan rakyat untuk bahagia. Ikatan norma akan berjalan begitu saja. Apalagi kalau yang tertindas tidak mampu buka suara.
*
Satu tahun berlalu, kini aku telah memasuki tahun kedua sekolah menengah pertama. Banyak cerita yang telah terjadi. Mulai gunjingan, cemohan bahkan umpatan. Semua orang sedesaku tahu masalah ini. Tak luput kakakku yang selalu menekan gengsi. Dia akhirnya pergi merantau. Katanya untuk menghidupi finansial keluarga. Tapi hingga bulan pertama dan berikutnya, ia bahkan tidak memberikan kabar. Hilang tanpa adanya rasa tanggung jawab dari perkataannya.

Aku mulai hidup sendiri sejak itu. Tidak ada satu orang pun yang aku percaya. Aku sempat ingin berhenti sekolah. Beberapa kali aku dipanggil ke ruang BK. Uang SPP tahunan sudah menunggak 3 bulan. Aku pun sudah tidak punya simpanan uang. Aku bekerja sebagai pelayan di suatu rumah makan. Tapi gajinya hanya cukup untuk makan.. Apa boleh buat sepertinya aku memang harus berhenti.

Setelah memutuskan untuk tidak bersekolah, aku bekerja di kota sebagai penjaga toko. Keputusan untuk berpindah tempat tinggal tidaklah mudah. Setelah beberapa kali dibujuk oleh teman ayah, akhinya aku menyetujui. Di kota membuat fikiranku terbuka. Yang dulunya hanya melihat kerlipan bintang, sekarang terpukau dengan pancaran cahaya dari gedung-gedung yang tinggi. Benar-benar berbeda dengan keadaan di desa.

Saat luang waktu bekerja, sering kali aku membaca buku-buku pelajaran sekolah. Berharap suatu saat aku bisa mengejar ketertinggalan. Mungkin saja aku memiliki biaya untuk kejar paket. Pemilik toko itu sudah tua sekitar berumur 70 tahunan. Suaminya meninggal 20 tahun lalu dan anaknya bekerja di pulau seberang sebagai manager suatu perusahaan pertambangan. Aku bersyukur, sebagai pekerja aku dianggap selayak cucunya. Ia sangat baik dan perhatian. Sering makan bersama kadang juga disuruh menemaninya di rumah.
Suatu hari, anaknya pulang. Wanita berusia 30 tahunan itu terlihat tangguh, dewasa dan ramah. Katanya, dia akan beberapa minggu ini tinggal disini. Saat sedang tidak ada pelanggan, aku kembali membuka buku pelajaran.

“Loh, dek. Kamu masih buka buku-buku pelajaranmu dulu?” tanyanya. Aku ketakutan, karena saat ini masih waktunya bekerja.
“ Iya kak maaf. Saya tidak bermaksud melanggar peraturan,” jawabku setengah gemetar.
“Tidak apa-apa kok. Toh, juga masih sepi kan? Kamu bisa gunakan untuk belajar,”dia tersenyum tulus. Berawal dari percakapan ini, kehidupanku mulai berubah.
*
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku telah menjadi mahasiswa tahun keempat di Tokyo University. Beberapa bulan lagi aku akan kembali ke Indonesia dengan membawa ijazah. Setelah kembali mengejar ketertinggalanku di Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota. Sekolah ini cukup terkenal karena dari alumninya banyak yang mendapatkan beasiswa di luar negeri. Aku seharusnya lulus 2 tahun kemudian, beruntungnya aku mendapat kesempatan akselerasi, ditambah lagi beasiswa di Jepang. Ya, Tokyo University. Kehidupan kelamku dulu sangat bermakna. Membuatku percaya bahwa tidak semua orang tega kepada sesama manusia.

Setelah kembali ke Indonesia, aku mengunjungi nenek dan ibu angkatku. Orang yang paling berperan mejadikanku seperti ini. Namun, tiba-tiba keinginanku menjadi dua, aku ini kembali ke kampung halamanku.

Setelah sampai di tanah ini, hawanya masih sama. Tidak terlalu banyak kendaraan berlalu lalang. Mungkin perubahannya telah banyak lampu jalan. Orang-orang yang sedang menuju pasar menatapku heran. Sepertinya mereka tidak mengenaliku. Akhinya, ada satu orang yang cukup aku kenal. Ia adalah orang yang membawaku berkenalan dengan nenek dan ibu. Aku menyapanya dan orang-orang bertanya. Aku tersenyum dan memperkenalkan diri sebagai diriku yang dulu. Tentunya mereka pasti tau dan ingat. Aku adalah anak dari ayah koruptor yang mati mengakhiri dirinya dan ibu depresi yang mati dipasung negara. Aku tidak berkecil hati. Dalam pandanganku berbeda. Kedua orang tuaku adalah orang paling mulia dan aku bangga lahir di keluarga mereka.

Ilustrator: Risalatul Yusniyah