Kemeriahan Asian Games 2018, ajang olahraga empat tahunan terbesar di Benua Asia  pada Bulan Agustus tahun ini menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hampir seluruh media massa di tanah air, baik cetak maupun daring masih mengarahkan fokusnya dalam hajatan olahraga di negara berpenduduk terbesar keempat dunia ini. Selain itu, berita politik jelang pemilihan umum eksekutif dan legislatif tahun 2019 juga tetap menghiasi linimasa media sosial masyarakat. Namun tampaknya keriuhan dua berita utama tersebut dalam berbagai penjuru media massa tak menarik perhatian Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.  Mereka adalah anak aktivis reformasi sekaligus penyair bernamaWidji Widodo alias Widji Thukul.

Saat sebagian masyarakat Indonesia beradu argumen siapa yang layak memimpin negara di Tahun 2019, Fitri dan Fajar, atau bahkan anak-anak aktivis lain terus menuntut tanggung jawab negara terhadap hilangnya orang tua mereka. Widji Thukul sendiri merupakan penyair dan aktivis kelahiran Solo 26 Agustus 1963. Bersama beberapa aktivis lainnya ia dikabarkan hilang saat terjadi demo reformasi besar-besaran di penghujung tahun 1998. Ia juga aktif dalam berbagai lembaga kesenian dan menjadi salah satu pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD). Puisi-puisinya hingga saat ini masih relevan dengan perjuangan kaum bawah (buruh dan petani)  sebagai bahan bakar penggerak perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

Sejak reformasi digaungkan di akhir dekade 90-an,  sudah lima putra dan putri terbaik bangsa memimpin negara besar ini. Semangat demokrasi,  pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia terus dilakukan pemerintah yang berkuasa. Namun tak satu pun dari kelima rezim tersebut yang dapat memberikan kepastian bagaimana nasib dari ayah Fitri dan Fajar. “Aksi Kamisan” yang terus menerus dilakukan setiap minggunya di depan istana tak membuat penguasa di negeri ini memberikan pelayanan terbaik. Alhasil, mimpi untuk penegakan hak asasi yang lebih baik sampai saat ini hanya sebatas mimpi.

Sebenarnya, ada secercah harapan dulu di tahun 2014. Saat pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mampu mengalahkan pesaingnya Prabowo-Hatta. Semangat muncul tatkala Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden Indonesia ketujuh saat itu. Hal ini dikarenakan Jokowi sendiri merupakan putra asli Solo, satu daerah dengan keluarga kecil Widji Thukul.

Saat itu pula, Jokowi yang masih menjadi calon presiden terang-terangan akan mengusut tuntas kasus penghilangan secara paksa para aktivis 1998. Ia juga secara gamblang mengenal dekat keluarga WidjiThukul, bahkan tahu lokasi rumahnya di Solo, Jawa Tengah. “Ya jelas harus ditemukan. Bisa ditemukan hidup, bisa ditemukan meninggal. Tapi harus jelas, masa sekian lama belumj elas yang 13 orang hilang itu.” Kata Jokowi di tahun 2014 seperti dikutip laman merdeka.com. Ketiga belas orang hilang yang dimaksudkan adalah Widji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, YadinMuhidin, danAbdun Nasser.

Namun hingga saat ini kabar tentang jejak para aktivis yang hilang masih jauh dari kata “jelas”. Pemerintah saat ini mungkin masih berfokus pada pembangunan infrastruktur dan pemerataan ekonomi. Usaha untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu dilakukan setengah hati. Hingga tak menemukan titik sampai hari ini.

KontraS sebagai lembaga sosial masyarakat yang fokus menangani kasus kekerasan dan pelanggaran HAM sebenarnya juga sekuat tenaga membantu keluarga aktivis dalam kasus ini. Diantaranya mendesak pemerintah melalui Panglima TNI untuk membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) di tahun 1998. Namun hasil penyelidikan tersebut tertutup dan hal ini jelas merugikan keluarga korban. Usaha KontraS serta Komnas HAM menyelesaikan masalah ini ke ranah hukum juga belum menemukan hasil yang maksimal.

Kini Fitri dan Fajar mungkin tak terlalu kehilangan sosok ayahnya yang hilang. Di saat dulu ayahnya pindah-pindah kota untuk bersembunyi dari kejaran pemerintah, mereka masih jadi anak kecil. Bahkan saat itu Fajar masih bayi. Jika ada orang yang sangat kehilangan sosok Widji Thukul, mungkin ia Siti Dyah Sujirah, sang istri yang setia menunggu kepulangannya.

Tanggal 26 Agustus kemarin sejatinya menjadi hari perayaan ke-55 sang kepala keluarga kecil asal Solo ini. Tapi nasib berkata lain. Tak ada perayaan tiup lilin atau pun pemotongan kue. Hanya ada doa dan harapan atas peringatan ulang tahun sang penyair revolusioner ini. Seperti keluarga aktivis lain, Bu Sujirah, Fitri, dan Fajar mungkin saat ini masih akan bertanya dan menagih ke pemerintah. “Kalau hidup, dimana tinggalnya? Kalau mati dimana kuburannya?”. Selamat Ulang Tahun, Orang Hilang!