Sebagai negara yang terdiri dari banyak pulau serta suku dan budaya mulai dari Sabang sampai Merauke. Keberadaan semboyan  Bhineka Tunggal Ika menjadi semangat untuk saling menerima keberagaman yang ada di Indonesia. Keberagaman itu kemudian disatukan menjadi satu identitas yaitu bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila.

Menjadi bangsa Indonesia, artinya menjaga beragam budaya Indonesia sebagai kekayaan bangsa merupakan keharusan. Namun, sebagai negara yang penuh keberagaman Indonesia menjadi rawan akan konflik yang berbau ras, suku, agama, dan budaya. Pertikaian antar suku dan golongan, diskriminasi terhadap kaum minoritas, dan juga penghancuran tempat ibadah merupakan beberapa bentuk konflik berbau suku, agama, dan budaya. Kemudian, konflik-konflik mengenai ini dikenal dengan sebutan SARA. Isu SARA menjadi sebuah topik sensitif dan bahkan lebih berbahaya dari politik uang karena dapat memancing pertikaian antar golongan tertentu. Pertikaian tersebut dapat menimbulkan perpecahan bangsa terutama di era digital ini. Media digital hadir sebagai wadah terbesar menyampaikan aspirasi dan pendapat masyarakat. Demokrasi yang sudah memiliki tempat seluas-luasnya hari ini dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan isu SARA demi memecah-belah bangsa.

Sejarah Indonesia mencatat beberapa kasus SARA besar yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya konflik Dayak dan Ambon, penjarahan dan pemerkosaan warga Tionghoa dan konflik moneter di tahun 1998. Juga Peristiwa Tragis Ambon di tahun 1999. Indonesia kembali mencatat kasus berbau SARA pada Pilkada DKI di tahun 2017 yang tak ubahnya anakan dari sejarah kelam tersebut.

Isu SARA yang muncul dalam pilkada DKI Jakarta bermula dari kasus dugaan penistaan agama, surat Al-Maidah 51, dan juga kasus yang disebut dengan ‘kriminalisasi ulama’. Kasus ini melibatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok dan berakhir di pengadilan. Yang paling menonjol dalam kasus ini adalah diskriminasi terhadap kaum minoritas. Tentu kita semua tahu, bahwa pada momentum Pilkada DKI 2017 Basuki Tjahaja Purnama sebagai salah satu calon gubernur berasal dari dari suku dan agama tertentu yang merupakan kaum minoritas di negeri ini. Isu utama ini kemudian sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis tertentu yang mengharapkan kemenangan. Inilah awal dari penyelewengan terkait penyebaran isu berbau SARA yang mewarnai media informasi dan komunikasi di Indonesia. Muncul ke permukaan berbagai informasi hoax dan propaganda yang disengaja untuk memecah-belah persatuan bangsa. Isu SARA dan Politik Identitas naik menjadi topik hangat yang dibicarakan. Yang kemudian disayangkan, timbul berbagai gesekan di dalam jiwa bangsa Indonesia mengenai keberagaman yang harusnya dijaga. Kelompok agamis sayap kanan mulai bermunculan dan menyebarkan propaganda ideologi yang hanya mengarah pada satu agama tertentu.

“Pilkada DKI, saya catat adalah Pilkada terburuk karena tidak mampu mengedepankan rasionalitas, kita digiring ke isu sensitif seperti SARA,” ungkap Siti Zuhro dalam acara diskusi publik yang bertajuk ‘Pilkada Bersih-Sehat: Waspada Operasi Kumis-Peci di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat (10/4/2017).

Pilkada DKI pada tahun 2017 bukan satu-satunya kasus berbau SARA yang mewarnai Indonesia. Di awal tahun 2018 ini, kasus berbau SARA kembali terjadi di Yogyakarta tepatnya di Sleman. Yogyakarta yang menyandang predikat sebagai salah satu kota intoleran seakan mendapat afirmasi. Telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh pelaku berinisial S pada umat di Gereja St. Lidwina Dk, Minggu (11/2/2018). Pelaku yang merupakan seorang mahasiswa (22 tahun) tiba-tiba menyerang beberapa umat yang sedang mengadakan misa menggunakan senjata tajam dan mengayunkan senjata ke arah patung Yesus dan Bunda Maria. Peristiwa ini mengakibatkan 5 orang korban luka termasuk Romo Prier yang saat itu sedang memimpin misa. Belum diketahui motif pelaku melakukan penyerangan.

“Kami berharap kepada segenap aparat sipil negara dan penyelenggara pelayanan publik di berbagai lini agar segera melakukan langkah cepat menciptakan sistem yang efektif agar kasus-kasus serupa tidak terjadi. Selain itu, juga secara aktif turut berjuang menjaga ditegakkannya nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dan memberikan jaminan perlindungan yang sama dalam kebebasan beragama dan beribadah, perlindungan hak-hak asasi manusia, serta hak hak dasar sebagai warga negara Republik Indonesia tanpa kecuali.” Begitu pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh Rm. FX Endra Wijayanto, Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang (11/2/2018).

Peristiwa ini bukan merupakan satu-satunya kasus berbau SARA yang terjadi di awal tahun 2018. Peristiwa demi peristiwa banyak terjadi dan telah mencederai semangat kebersamaan yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Serangan pada Kyai Umar Basri, pimpinan Ponpes Al Hidayah, Santiong, Cicalengka, Jawa Barat merupakan kejadian yang menjadi pembuka di awal tahun 2018 (27/1/2018). Kemudian pembubaran panitia bakti sosial di Gereja Santo Paulus, Bantul, Yogyakarta (28/1/2018). Selanjutnya penganiayaan terhadap Komando Brigade PP Persis, Ustad Prawoto (1/2/2018). Persekusi terhadap pemuka agama Budha Biksu Mulyanto Nurhalim yang dianggap menyalahgunakan tempat ibadah, Tangerang (7/2/2018). Perusakan masjid di Tuban, Jawa Timur dan pelecehan terhadap rumah ibadat Hindu di Bima, NTB (12/2/2018).

“Ini sejenis terror, pembentukan pemikiran masyarakat yang sengaja dibuat-buat bahwa negara ini tidak aman. Polisi harus tegas mencari siapa dalang dari permasalahan ini. Jika polisi kurang tegas, maka masyarakat sendirilah yang masuk ke tujuannya,” tutur Yahya Sultoni, mahasiswa sekaligus mantan Wakil Ketua Kaderisasi IPNU Cabang Ekonomi dan Koperasi periode 2016-2017 (11/2/2018).

Berbagai peristiwa ini memang dapat memancing berbagai opini publik bahwa ada pihak yang sengaja memecah-belah bangsa, atau kasus-kasus ini sengaja diangkat demi kepentingan politik tertentu. Namun dari beberapa peristiwa ini kita bisa menangkap bahwa masih banyak tindakan intoleran yang mencerminkan ketidaksatuan bangsa Indonesia. Dampak dari beberapa kejadian ini adalah terganggungnya stabilitas kemananan daerah dan nasional yang dapat memicu konflik yang lebih besar. Bentuk penyerangan terhadap golongan tertentu dapat menebar kebencian antar suku dan agama di Indonesia yang kemudian dapat memancing kembali pertikaian berbau SARA.

Tentu saja hal ini kemudian membawa keresahan bagi seluruh masyarakat. Terutama menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang akan terjadi di Indonesia. Pesta Demokrasi besar-besaran yang harusnya kita manfaatkan sebaik dan setertib mungkin justru membawa keresahan masyarakat. Semua elemen masyarakat menyatakan waspada terhadap pilkada berbau SARA. Hal itu dapat saja terjadi, mengingat besar peluang isu SARA diangkat sebagai dasar melakukan kampanye hitam.

Efek dari keresahan ini, politik awal tahun 2018 menjadi syahwasangka di Indonesia. Kasus berbau SARA dan penyebaran isu-isu tertentu menjadi ketakutan masyarakat akan berbau politik kotor dan kemudian dapat menodai pesta demokrasi Indonesia di tahun 2018. Akankah isu berbau SARA kembali mewarnai panggung politik Indonesia dan merusak pesta demokrasi di negeri ini?

Jokowi mengatakan bahwa ada 171 Pilkada di seluruh tanah air Indonesia. Ia kemudian berpesan bahwa di tahun politik 2018, semua pihak harus menjaga kondisi. Kontestasi politik perlu diisi dengan adu program dan gagasan rasional.

“Mestinya itu yang diangkat, bukan saling mencela, menjelekkan, dan saling mencemooh. Kita sering lupa bahwa kita adalah saudara satu bangsa setanah air,” begitu pesan Jokowi saat berpidato dalam Pembukaan Kongres XXX dan MPA XXIX PMKRI di Jakabaring Sport City Palembang, Senin (22/1/2018).

Independensi setiap individu pemilih menjadi kunci utama dalam pilkada tahun 2018 ini. Luberjurdil tidak boleh dilupakan. Jangan sampai masyarakat sebagai pemilih ditunggangi kepentingan politik tertentu. Gunakan suara masing-masing secara independen. Gunakan visi misi dan rekam jejak kerja calon sebagai tolak ukur dalam menentukan pilihan. Bukan berdasarkan ras, agama, budaya, atau golongan tertentu.

Lebih lanjut, dalam acara tersebut Jokowi juga mengajak para mahasiswa menjadi mahasiswa yang penuh kasih dan berani mengaktualkan Pancasila. Jokowi juga berpesan bahwa keragaman di Indonesia itu wajib dijaga. Ia pun menyampaikan pesan dari Presiden Afghanistan Ashraf Ghani bahwa konflik antarsuku segera dan cepat harus diselesaikan.

Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia sudah seharusnya dapat membawa kita pada pesta demokrasi yang bersih dan aman. Keikutsertaan berbagai kelompok masyarakat dalam suku, budaya, dan agama yang berbeda dalam pesta demokrasi ini harus ditanggapi secara positif. Seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke berpartisipasi aktif dalam Pilkada tahun 2018 ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia peduli terhadap masa depan negara. Jangan ada lagi sikap apatis dan golput dalam jiwa masyarakat Indonesia. Masyarakat juga harus kooperatif untuk menanggapi segala kasus yang menimbulkan perpecahan dengan turut mengkondufiskan keadaan, bukannya menimbulkan pernyataan yang provokatif. Kemudian, pemerintahan bersama segala lembaga pertahanan dan keamanan negara harus selalu mengawal pesta demokrasi ini agar berjalan aman, tertib, dan sesuai dengan hak setiap warna negara. Sehingga ke depannya jangan sampai muncul penyelewengan yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa.

Menjaga keberagaman sebagai sebuah kekayaan merupakan suatu hal yang penting. Kemudian, yang perlu ditanamkan baik-baik dalam otak kita adalah kita sebagai bangsa Indonesia adalah satu. Tidak peduli ras, agama dan golongan tertentu, jati diri kita sebenarnya adalah bangsa Indonesia. Itulah yang mempersatukan kita.

[Tulisan ini pertama kali dipublikasikan dan lolos dalam seleksi workshop Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK)]

Penulis: Bernadetha Putrinda Harimurti

Editor: Moch Yusuf Irvanto