Layaknya sebuah mahligai rumah tangga yang ideal, banyak perbedaan antara suami dan istri dalam mendidik anak-anaknya. Sebagai contoh, di dalam sebuah keluarga seorang ayah berprofesi sebagai tentara, sedang sang bunda bekerja sebagai guru. Dalam pandangan kita, pasti sang ayah akan mendidik anaknya dengan tempaan yang keras dan tegas, sesuai dengan apa yang ia dapatkan saat latihan militer. Sementara sang bunda sebagai seorang guru akan bersikap lebih lembut dan perhatian dalam mendidik anaknya. Namun dari banyak perbedaan metode mendidik, keduanya memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada anaknya.

Sama halnya dengan contoh diatas, pers mahasiswa (persma) dan humas kampus tidaklah sama. Keduanya berjalan di jalan yang berbeda dalam memberikan informasi kepada civitas akademika di dalam sebuah lingkup kampus. Sudah sangat jelas humas kampus akan memberitakan keunggulan atau kelebihan yang ada pada kampusnya. Prestasi dari mahasiswa atau dosen juga tak luput diberitakan untuk menaikkan pamor kampus. Selain itu, informasi terkait kampus seperti sistem kurikulum sampai beasiswa juga bisa dinikmati secara gratis didalam web yang dikelola pihak kampus tersebut.

Sedangkan persma dapat dimaknai sebagai usaha dalam menyampaikan informasi melalui sebuah media terbitan yang dikelola secara komunal oleh mahasiswa di dalam lingkup Unit Kegiatan Mahasiswa. Untuk menjalankan fungsinya sebagai Agent of Change and Control, sudah tentu persma dituntut untuk selalu kritis didalam menyikapi setiap dinamika yang terjadi di dalam kampus. Nilai berita yang disampaikan biasanya berasal dari isu yang sedang berkembang di kampus, jauh dari kata “pencitraan” seperti berita-berita yang disebar luaskan oleh humas kampus.

Dalam hal organisasi, kerja humas kampus dapat dikatakan lebih terstruktur dibandingkan persma. “Mengapa ?” karena dalam segi organisasi awak persma terbentur dengan kesibukan akademik seperti kuliah, praktikum, mengerjakan tugas dan laporan, serta masih banyak lagi. Selain itu menjadi seorang humas kampus dapat menghasilkan uang dari pekerjaannya. Jadi wajar saja apabila didalam penyebaran informasi humas kampus terkesan lebih aktif daripada media persma.

Dalam konteks kepentingan, secara alami humas kampus akan selalu berpihak kepada kepentingan birokrat kampus. Sedangkan persma sendiri meskipun masih didanai oleh pihak kampus namun secara keredaksian pihak pemangku kebijakan kampus “haram” untuk ikut campur kedalamnya. Hal ini bukan tanpa alasan. Karena persma sendiri bersifat independen dan ruang redaksi di dalam sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) merupakan tempat suci yang menjadi simbol independensi dan perjuangan persma.

Namun karena tulisan yang dimuat oleh persma lebih banyak mengangkat isu sensitif di dalam kampus, secara tidak langsung pihak birokrat kampus “tersentil” dengan pemberitaan persma. Bahkan banyak yang menganggap persma tidak pro-kampus dan hanya menjadi biang masalah di dalam kampus. Contoh teranyar yakni LPM POROS Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta diberedel medianya oleh pihak rektorat karena tak tahan lagi dengan pemberitaan yang dimuat oleh POROS. Tak tanggung-tanggung, POROS juga dibekukan secara keorganisasian. Pihak birokrat UAD kesal lantaran di dalam bulletin magang edisi 2016 memuat isu tentang ketidaksiapan UAD membuka Fakultas Kedokteran. (Baca : Birokrasi Masih Labil, LPM Poros Diberedel).

Jadi, mindset bahwa persma hanya akan menjadi biang masalah di dalam kampus tampaknya harus dirubah. Seperti analogi pada bagian awal diatas, persma berperan sebagai seorang ayah, humas kampus sebagai bunda, dan anak-anak yang mereka didik adalah seluruh civitas akademika yang ada di dalam kampus. Seperti didikan militer yang keras dan tegas, persma memposisikan dirinya sebagai pengawas kebijakan yang dibuat petinggi kampus. Pemberitaan persma yang kritis sejatinya dapat dijadikan evaluasi bagi birokrat kampus. Karena tidak semua kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan.

Sudah seharusnya pihak birokrat kampus bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi pemberitaan yang dimuat oleh persma. Didalam setiap penerbitan media persma pasti “tidak asal” menerbitkan medianya. Kode Etik Jurnalistik dan disiplin verifikasi menjadi senjata ampuh persma menghadapi setiap permasalahan setelah media diterbitkan. Sementara humas kampus yang dianalogikan sebagai seorang guru didalam pemberitaannya lebih banyak memuat tentang informasi kampus, berita terkini, berita prestasi yang diperoleh civitas akademika, kegiatan yang ada dalam kampus, serta masih banyak lagi.

Lantas, masih adakah yang mempertanyakan mengapa media persma “jarang” memberitakan hal postif seperti humas kampus ?.[]