JEMBER, Manifest – Kampus seharusnya menjadi tempat yang paling bebas dalam mengeluarkan pendapat. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi bagian dua pasal delapan ayat dua yaitu, Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi. Bahwasanya kampus selain menjamin kebebasan berpendat juga memiliki kewajiban akan terpenuhannya fasilitas yang digunakan. Termasuk pers mahasiswa (persma), semua aktivitas yang dilakukan persma dalam organisasi maupun redaksi merupakan bagian dari proses pendidikan yang wajib dilindungi kampus.

Namun kenyataan dilapang berbeda, kebebasan mimbar akademik tercoreng dengan terjadinya pembreidelan media dan pembatasan kerja jurnalistik yang dilakukan persma. Seperti yang menimpa produk media Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera dan juga mediaunram.com. Dibalik sebuah pembreidelan pastinya ada ketakutan-ketakutan ataupun sebuah kepentingan dari pihak terkait yang memicu hal tersebut terjadi. “ Pembreidelan itu di dalamnya terdapat kepentingan, bisa dari kepentingan pejabat ataupun petinggi lainnya, “ kata Dian Teguh saat memberikan materi.

Memang posisi kampus menjadi salah satu alasan kenapa media persma mudah dibreidel. Pendanaan kampus yang memang berasal dari Negara membuat kampus menjadi posisi lemah dalam pemerintahan. “Banyak kampus yanng masih bergantung pada subsidi pemerintah, “ kata Ika Ningtyas selaku ketua AJI Jember. Jika demikian maka kampus dituntut untuk patuh terhadap segala hal peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dan siapapun yang menolak peraturan maka dianggap melawan. “Banyak mahasiswa kritis yang dianggap sebagai tindakan yang melawan.” Jelasnya.