Manusia lahir sendiri sendiri, dan mati sendiri sendiri. Mengapa dunia ini tidak seperti pasar malam? Datang berkelompok dan pulang dengan berkelompok.

Sebuah novel karya Pramoedya Ananta Toer ini berbicara tentang kesendirian. Meski manusia adalah makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup. Ada sebuah ketakutan dalam diri ketika kebersamaan akan berakhir. Saat itu, kesendirian timbul.
Jangan anggap orang yang selalu menjadi pusat perhatian dan selalu ceria tidak pernah merasa sendiri. Begitu pun dengan para publik figur atau orang-orang dengan ketangguhan bercakap di masyarakat. Mereka adalah orang-orang kesepian yang takut pulang sendiri.
Dunia ini tidak seperti pasar malam. Banyak orang datang bergerombol dan pulang pun dengan bergerombol. Tidak ada orang yang sendiri di sana. Itulah kebanyakan harapan dari manusia. Selalu bersama, menginginkan rasa aman ketika bersama. Tidak ada rasa khawatir sedikit pun saat bersama-sama.
Gambaran itu begitu nyata, ketika setiap orang punya pemahaman hidup yang berbeda. Lingkungan yang berbeda, yang menumbuhkan manusia mulai lahir, membentuk sebuah karakter. Pertumbuhan itu juga menumbuhkan harapan-harapan. Sebuah dunia idealis yang hanya bercokol pada satu otak manusia saja. Dalam otak manusia lain akan ada dunia idealis yang berbeda. Dunia yang menjerat sekaligus memberikan alasan untuk manusia akan hidup lama atau sebaliknya.
Hal itu tergambar dalam Bukan Pasar Malam.Tokoh “aku” bersimpati pada sang ayah. Dia merasakan begitu kesepiannya sang ayah ketika perjuangannya untuk negeri, untuk setiap tetes darah pengorbanannya, dibayar dengan penghianatan teman-teman seperjuangannya. Sang ayah tahu betul, kawan-kawannya yang dulu adalah komandan pasukan gerilya, setelah kemerdekaan didapatkan, mereka malah memanfaatkan jabatan itu untuk memperkaya diri mereka sendiri. Padahal masyarakat masih belum siap menerima kemerdekaan. Segala macam sistem yang telah mapan saat penjajahan Belanda, kemudian hancur pada masa perang kemerdekaan tak sempat dibenahi. Mereka malah menjadi badut-badut yang hanya bisa menghibur dengan kata-kata kosong.
Sang ayah kecewa. Kekecewaan itulah yang membuatnya sakit. Terkena tbc. Tubuhnya yang dulu gempal dan gagah menjadi rapuh dan tipis. Dunia idealisnya telah hancur oleh kekecewaan. Dia seperti manusia tersingkir dan terasing. Segala macam pengorbanannya pun berubah menjadi ejekan dari orang-orang yang tak pernah tahu.
Karena dia seorang penjudi. Dia orang yang tidak ada tandingannya saat memegang kartu. Lima hari tanpa makan, minum, tidur, bahkan buang air pun tidak. Tidak ada yang sanggup menandinginya untuk bicara tentang kenegaraan saat dia memegang kartu. Penjudi, pemabuk, pemain perempuan pun dia anggap manusia yang seharusnya mendapatkan hasil dari perjuangan kemerdekaan.
Dia pun seorang guru yang tiga puluh tahun telah mengajar. Kaki-kakinya selalu kokoh mengayuh sepeda berkilo-kilo meter. Namun tiba-tiba dia terasing karena kekecewaan pada dunia yang dia bangun dengan peluh dan darahnya. Keterasingan itu menggerogoti dunia citanya. Semua pun pupus dan tak ada lagi hidup baginya.
Keluarganya, orang-orang yang paling dekat pun tidak ada yang mampu membangun dunia citanya yang telah hancur itu. Semua kawannya telah terlanjur menjadi gurem dalam karung berasnya. Hanya ketika “aku”, anaknya yang sulung mengikuti langkah yang dulu ia pernah lewati, dia bisa tersenyum.
Namun, itu tidak mengurungkannya untuk mati dalam kesendirian. Dia mati dalam kesendiriannya. Dia mati membawa serta dunia idealnya. Dia mati dengan berbagai macam luka yang dia torehkan dalam hati orang-orang yang menghormatinya. Penyesalan akan sebuah kematian dari orang yang berjasa. Kematian dari orang yang paling kuat. Dan kematian dari orang yang berjuang untuk orang lain.
Yang dipahami oleh “aku”, oleh kawan-kawan judinya, oleh rekan gurunya, ketika dia mati, dia mati dalam kesendirian. Andai dunia ini seperti pasar malam. Tidak akan pernah ada manusia lahir sendiri-sendiri dan mati sendiri-sendiri. Tapi dunia ini Bukan Pasar Malam. [Cetar]