“Nak, belajarlah sana ke negeri China”
“Tidak bisa ayah, intinya tidak bisa”
“Kenapa Nak? Jangan khawatir mengenai biaya”
“Tidak bisa Yah. Kan sekarang ada sistem zonasi”

Begitulah salah satu meme yang tersebar di media sosial untuk mengkritik kebijakan pemerintah tentang sistem zonasi pendidikan. Hiruk pikuk sistem zonasi ini menjadi perbincangan hangat (tentu setelah sidang pemilihan presiden atau pilpres MK) di kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang mendukung, juga di satu sisi ada yang kontra. Kemudian, kita sebagai mahasiswa perlukah risau dan bagaimana rasionalisasinya menghadapi fenomena ini?

Sebelum itu, cara pandang kita terhadap sistem zonasi ini perlu diluruskan dahulu untuk melihat orientasi kedepannya. Baru kita bisa menentukan sikap dan bagaimana cara bertindak yang laik. Setidaknya ada dua poin utama yang perlu diperhatikan agar perselisihan antara masyarakat yang pro dan kontra bisa diselesaikan.

Pertama, penghapusan dogma sekolah favorit atau unggulan. Seperti yang digaungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 merupakan bentuk peneguhan dan penyempurnaan dari sistem zonasi yang sudah dikembangkan. Zonasi pendidikan ini dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan akses dan kualitas pendidikan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini ketimpangan kualitas pendidikan masih marak terjadi. Seperti yang disampaikan oleh ketua umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Hilmi Setiawan dalam Jawapos, menyatakan bahwa tujuan mulia sistem zonasi adalah menciptakan iklim pendidikan di mana semua sekolah sama baiknya. Dalam sistem zonasi, bukan lagi kompetisi antarsiswa dalam satu sekolah, tetapi persaingan sekolah. Selain itu, kepala sekolah dan guru bakal berupaya keras untuk menghasilkan siswa terbaik dari input siswa baru yang relatif sama.

Kedua, Pendidikan saat ini masih dalam pusaran kapitalistis. Maksudnya adalah, sekolah yang tergolong ‘sepi peminat’ akan berebut siswa baru dengan menawarkan berbagai fasilitas tambahan. Seperti seragam gratis, buku gratis, bahkan dalam sehari-seharinya siswa dijemput oleh pihak instansi untuk sekolah. Fenomena seperti ini sangat bahaya terhadap orientasi atau output pembelajaran ke depan. Betul kata Cak Nun (Ainun Najib) kalau dunia pendidikan kita terlalu terseret kapitalisme. Pendidikan dikaitkan dengan urusan laba rugi, maka sekolah akan saling berebut mendapatkan siswa sebanyak-banyaknya bukan karena semata urusan pendidikan tapi mengeruk keuntungan secara ekonomi.

Perlu diketahui bahwa untuk meredam gejolak dari wali siswa yang sangat kontra terhadap sistem zonasi pendidikan ini, Muhajir Effendy memberikan dispensasi berupa kelonggaran kuota zonasi terbaru. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi No. 51 Tahun 2019, pemerintah menambah kuota prestasi menjadi 15% dan jalur perpindahan tetap 5% sedangkan dalam zonasi menjadi 80%. Hal itu untuk mencari jalan tengah dari protes mengenai jalur zonasi ini.

Kendati demikian, Mendikbud menyampaikan penetapan zona itu prinsipnya fleksibel dan melampaui batas-batas wilayah administratif. Misalkan, dikarenakan kendala akses ataupun daya tampung sekolah maka sangat dimungkinkan pelebaran zona sesuai situasi dan kondisi di lapangan. Oleh karena itu, Kemendikbud tidak mengatur sampai detil sehingga pemerintah daerah dapat menyusun petunjuk teknis dengan lebih baik. “Jadi, kalau memang daerah yang memang ada kondisi tertentu, cukup ada perjanjian kerja sama antar pemerintah daerah mengenai hal ini,” ujar Muhajir Effendy.

Dari sekian banyaknya sisi positif apabila sistem zonasi diterapkan, ternyata begitu banyak pula sisi negatifnya. Ihwal zona, tentu kita perlu refleksikan bahwa model pendidikan sangatlah banyak. Sebut saja seperti pendidikan pondok pesantren. Tidak dapat dipungkiri bahwa santri/siswa dari pesantren tersebut tidak hanya berasal dari satu daerah saja. Tentu pesantren besar kebanyakan santri itu berasal dari luar kota, luar provinsi, bahkan luar negeri. Andaikan sistem zonasi ini diterapkan, bagaimana nasib pesantren yang ada di Indonesia? Entahlah.

Akhir-akhir ini juga ada sebuah pemandangan yang sangat tidak mengenakkan. Dalam berita yang dirilis tirto.id, terjadi perpindahan domisili secara tiba-tiba. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menemukan kasus mengenai salah seorang siswa asal Cibinong, Bogor, menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya di Kramat Jati, Jakarta Timur, demi bisa bersekolah di salah satu sekolah di daerah itu, alih-alih di tempat asalnya. Dengan demikian, sistem zonasi bisa dikelabui. Hal ini dimungkinkan karena lagi-lagi pasal karet dalam Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 14/2018 yang menyebutkan bahwa domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB (Pasal 16 ayat 2).

Ambil Peran
Sebagai mahasiswa sepatutnya kita bersikap bijak dalam menghadapi fenomena ini. Begitu banyak meme bertebaran di media sosial yang justru mengejek pemerintah Indonesia. Seperti tweet salah satu pengguna Twitter tentang akan diterapkannya nikah zonasi. “Kabarnya menteri agama akan menerapkan aturan nikah zonasi, dimana pasangan boleh menikah dengan pasangannya jika domisili rumah pasangan 100 meter. Aturan ini akan diberlakukan segera agar mampu menekan angka jomblo di Indonesia. Lalu bagaimana jika dalam jarak 100 meter dari rumah tidak ada wanita atau pria yang lajang? Tenang jika hal itu terjadi, maka diijinkan mencari pasangan yang jaraknya bertahap kelipatan 100 meter berikutnya.”

Langkah sederhana yang dapat kita lakukan adalah bagaimana kita harus bisa mengelola media masa secara arif dan bijak. Jangan malah menambah beban pemerintah dengan meme yang justru mendiskreditkan sistem pendidikan saat ini. Kalaupun kecewa dengan inkonsistensi kebijakan pendidikan saat ini, mahasiswa haruslah ingat dengan jati dirinya bahwa posisi sekarang adalah sebagai intermediate actor antara pemerinta dan rakyat.

Layaknya analisis SWOT, tentu barang penting Kemendikbud melihat strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman) dalam menerapkan sistem baru ini. Tidak baik jika hanya mempunyai prinsip memutus dogma sekolah favorit atau unggulan tanpa didasari oleh strategi yang brilliant. Kita tau, keterbatasan kebijakan seperti masa bakti pemerintahan yang hanya 5 tahun haruslah menjadi referensi. Mengingat tahun 2019 adalah tahun terakhir dalam periode ini (Reshuffle Menteri), pengawalan untuk periode selanjutnya haruslah intens dan berkala tanpa ada embel-embel rezim. []