Gerakan angin yang tidak cukup memberikan kesejukan ditengah cuaca panas kawasan Jemursari, Surabaya siang itu. Beberapa rumah berdiri tegak, bergarda pagar besi menjulang setengah tinggi, tidak lupa dihiasi pohon-pohon yang mungkin merasakan gerah setiap hari. Diantara bangunan itu, nampak sepetak bangunan yang menarik perhatian. Sebuah area yang tidak terlalu luas, dibentengi oleh tembok putih cukup tinggi dengan gapura bertuliskan “Sanggar Candi Busana” sebagai pintu masuknya. Selangkah pertama masuk melewati gapura, terlihat sebuah patung Semar putih cukup lebar dan tinggi menyambut setiap orang yang datang. Dua langkah kekanan terlihat sebuah rumah panggung terbuka dengan beberapa pajangan pada susunan kayu yang berfungsi sebagai pembatas pada salah satu sisi panggung. Benar sekali, disitulah tempat penganut kepercayaan Sapta Darma melakukan segala aktivitasnya. Sapta Darma, sebuah aliran kepercayan yang mulai ada sejak tahun 1952. Kini kepercayaan ini sudah menyebar di 17 provinsi di Indonesia dan 5 negara di dunia.

Malam hari, tahun 1952 di kampung Pandean, Kediri, Hardjosapoero tengah mengikuti kegiatan adat “jagong bayi” bersama masyarakat Kediri yang lain. Hari berganti, lewat pukul satu malam, pria yang akrab disapa Hardjo memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Sesaat setelah mencoba tidur, Hardjo dikagetkan dengan keanehan yang menimpa dirinya. Tidak jelas apa yang terjadi, hingga dia dipaksa untuk duduk bersila dan bersedekap oleh sesuatu yang juga tidak bisa diterima logika. Esok harinya Hardjo berusaha menceritakan apa yang telah dialaminya kepada temannya, Sumogiman. Rupanya Sumogiman dan bahkan 5 orang teman Hardjo yang lain juga tengah merasakan keanehan yang sama. Keanehan terus berlanjut dialami oleh ketujuh orang ini. Apa yang menimpa Hardjo dipercaya sebagai awal terciptanya ajaran Sapta Darma. Sampai pada suatu hari, beberapa orang mendatangi Hardjo dan memintanya untuk menyebarkan ajaran tersebut. “Tahun 1956 Hardjo mulai keluar dari Kediri dan pergi ke Yogyakarta untuk menyebarkan ajaran Sapta Darma.” Ungkap Naen Suryono selaku Ketua Lembaga Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) saat bercerita kisah penyebaran Sapta Darma.

Naen menjelaskan bahwa kini Sapta Darma sebagai aliran kepercayan dengan jumlah pengikut paling banyak. Sampai kini, sudah terdapat 45 sanggar Sapta Darma yang menyebar di seluruh wilayah Surabaya. Penyebaran ajaran Sapta Darma memang tidak bisa terhindar dari berbagai bentuk diskriminasi. Penganut Sapta Darma mau tidak mau harus menerima kondisi bahwa kepercayaan yang mereka anut tidak diakui oleh negara. Sebelum tahun 2006, penganut Sapta Darma terpaksa berbohong atas dirinya dengan mengaku menganut salah satu kepercayaan yang diakui negara demi mempertahankan eksistensinya di lingkungan masyarakat. “Ketika di luar rumah saya mengaku sebagai penganut Islam,” jelas Naen.

Kenyataan ini pun diperkuat oleh Dian Jennie Cahyawati dalam pengakuannya siang itu. Wanita yang menjadi ketua Puan Hayati sekaligus menjadi Wakil Ketua Persada ini menyebutkan bahwa kala itu penganut Sapta Darma harus menerima berbagai bentuk diskriminasi. Sebagai penganut aliran kepercayaan yang tidak termasuk dalam kepercayaan tetapan pemerintah membuat penghayat tidak berani muncul kepermukaan. Bahkan masalah kematian pun tetap dipersoalkan. Keadaan ini juga berpengaruh buruk bagi anak-anak Sapta Darma. Stigmatisasi dari sekolah maupun teman sebayanya, membuat anak-anak Sapta Darma hidup dalam tekanan. Rupanya, mereka pun harus mengaku menganut kepercayaan resmi tetapan pemerintah demi mendapat hak pendidikannya. “Dulu SD kelas 1 sampai kelas 3 saya ngakunya islam. Mengaku islam buat syarat sekolah. Lalu kelas 4 saya pindah ke Gresik dan mengaku Kristen.” Pengakuan Eky, salah satu pemuda Sapta Darma.

Upaya yang dilakukan penganut Sapta Darma demi mendapat pengakuan secara konstitusi sedikit membuahkan hasil. Pasal 61 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah direvisi menjadi pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang No 24 tahun 2013. Ini memberi sedikit kelonggaran kepada penganut Sapta Darma. Penganut Sapta Darma tidak lagi harus mengaku menganut kepercayaan lain. Tidak masalah bila mereka berani mengaku sebagai penganut Sapta Darma. Sayangnya, kelonggaran yang diberikan Pemerintah hanya sebatas tanda (-) untuk kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Baru setelah Undang-Undang ini diberikan, saya mengaku sebagai Sapta Darma. Namun KTP saya kosong, tidak ada agamanya,” Tutur Naen.

Lantas, apakah kemudahan yang diberikan Pemerintah ini sudah benar-benar membuat penganut Sapta Darma mendapatkan haknya secara penuh sebagai warga Negara? Nampaknya, kelonggaran ini tidak benar-benar memiliki arti bagi penganut Sapta Darma. Penganut Sapta Darma tetap dalam kondisi mendapat diskriminasi dari lingkungan. Bahkan rentan muncul bentuk diskriminasi baru bagi mereka. Eky, sebagai salah satu penganut Sapta Darma yang mengalami dampak atas kondisi ini menyebutkan bahwa dia sempat kesulitan dalam melakukan administrasi kala itu. “Waktu itu membuat ATM (Anjungan Tunai Mandiri, red). Waktu buka rekening, ada kolom agama lain-lain. Ternyata kolom lain-lain ini tidak bisa dipilih untuk Warga Negara Indonesia (WNI). Jadi kolom agamanya saya isi kristen,” Ucapnya.

Bagai sudah jatuh, tapi tertimpa tangga lagi, demikianlah kondisi penganut Sapta Darma saat ini. Kolom agama kosong dalam KTP penganut Sapta Darma dapat memunculkan stigma baru di lingkungan masyarakat. “Masyarakat tidak akan tahu bahwa kami penghayat kepercayaan. Yang masyarakat tahu bahwa KTP kami kosong. Artinya, penghayat kepercayaan ini tidak akan pernah booming namanya,” Ungkap Dian. Sampai kini penganut Sapta Darma tidak mendapat pengakuan hak agama dari negara. Mereka terus berjuang demi mendapat pengakuan dan haknya sebagai warga negara secara konstitusi.[] (Nur Intan Aulia)